Rabu 06 Jul 2022 22:48 WIB

CELIOS: Pasar Goyah Lihat Pelemahan Rupiah

Celios memprediksi rupiah akan semakin melemah tertekan suku bung acuan AS

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Teller memegang mata uang Dolar AS dan Rupiah di sebuah tempat penukaran uang, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kurs Rupiah ditutup Rp14.999 per Dolar AS pada perdagangan Rabu (6/7) hari ini, melemah 0,03 persen ketimbang posisi penutupan perdagangan kemarin (5/7) pada Rp 14.994 per dolar AS.
Foto: ANTARA/Subur Atmamihardja
Teller memegang mata uang Dolar AS dan Rupiah di sebuah tempat penukaran uang, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kurs Rupiah ditutup Rp14.999 per Dolar AS pada perdagangan Rabu (6/7) hari ini, melemah 0,03 persen ketimbang posisi penutupan perdagangan kemarin (5/7) pada Rp 14.994 per dolar AS.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS telah tembus Rp 15 ribu. Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengatakan pelemahan rupiah tersebut sudah diprediksi sebelumnya karena tekanan eksternal memang menguat.

"Proyeksinya melemah hingga Rp 16 ribu per dolar AS, sepanjang akhir tahun," katanya pada Republika, Rabu (6/7).

Menurutnya, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini baru di awal. Tekanan berikutnya diproyeksi terjadi saat kenaikan Fed Fund Rate atau suku bunga acuan AS berikutnya terjadi.

Sinyal resesi ekonomi secara global seperti yang disampaikan oleh berbagai lembaga keuangan menjadi kekhawatiran mendasar pelaku pasar. Misalnya proyeksi Citigroup terkait risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50 persen dalam 18 bulan ke depan.

Disaat yang bersamaan, BI masih menahan suku bunga acuan disaat terjadi kenaikan inflasi Juni sebesar 4,35 persen. Imbasnya arus keluarnya dana asing masih akan tinggi.

"Kita harus mempersiapkan diri dalam skenario yang terburuk, inflasi naik dan konsumen tidak siap berarti daya beli masyarakat bisa kontraksi," katanya.

Kemudian pendapatan dari ekspor komoditas yang selama ini menopang surplus perdagangan bisa berbalik arah. Mengingat harga CPO dan batubara mulai menurun sebulan terakhir, dan defisit APBN melebar sehingga beban untuk pembayaran bunga utang terutama SBN meningkat tajam.

Masyarakat harus segera lakukan ikat pinggang, atur dana darurat, dan alihkan investasi ke aset yang aman baik dolar maupun emas. Ketidakpastian resesi masih menyelimuti karena seluruh negara sedang mempersiapkan cadangan pangan secara agresif.

Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah menyampaikan pentingnya menaikan suku bunga acuan untuk mengatur ekspektasi pasar. Menurutnya, yang sangat diharapkan saat ini adalah BI menaikkan suku bunga.

"Kenaikan suku bunga acuan BI bisa menjadi sinyal bahwa BI tidak akan membiarkan pelemahan rupiah berlanjut," katanya.

Sinyal ini akan menahan perilaku spekulatif yang bisa semakin memperlemah rupiah. Sementara itu, pelemahan rupiah yang cepat dalam sebulan terakhir sendiri disebabkan banyak faktor.

Mulai dari meningkatnya risiko global akibat pandemi dan perang yang tercermin pada inflasi tinggi dan perekonomian yang melambat atau bahkan resesi. Hingga dampak dari response kebijakan moneter terhadap tingginya inflasi.

"Kalau pemerintah tidak menaikkan harga barang-barang subsidi seperti pertalite dan BI menaikkan suku bunga, inflasi akan berada di kisaran 4 -5 persen dan Rupiah di kisaran Rp 14.500 hingga Rp 15.500 per dolar AS," katanya.

Menurutnya, BI seharusnya sangat memahami, kalau pelemahan rupiah dibiarkan bisa terjadi ekspektasi pelemahan yang berlebihan. Hal tersebut justru mendorong perilaku spekulatif yang semakin memperlemah rupiah.

Ketika ini terjadi upaya stabilisasi rupiah akan semakin sulit dan mahal. Memang kenaikan suku bunga bersifat menahan permintaan dan membatasi pertumbuhan ekonomi. Tapi, menurutnya, itu harus dilakukan karena dampak inflasi yang tidak terkendali dan pelemahan rupiah akan lebih buruk lagi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement