Kamis 07 Jul 2022 06:55 WIB

Kemkumham: Restorative Justice Cegah Over Kapasitas Lapas

Selain sistem pidana dewasa, RJ juga diterapkan pada sistem peradilan pidana anak.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus Yulianto
Seorang warga binaan bertemu dengan keluarga di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Foto: ANTARA/ Fakhri Hermansyah
Seorang warga binaan bertemu dengan keluarga di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Restorative Justice (RJ) dinilai semakin menguatkan fungsi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana bagi narapidana Anak dan dewasa. RJ pun mampu meredam masalah kelebihan kapasitas di lembaga permasyarakatan (Lapas). 

Hal ini disampaikan oleh Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak Ditjenpas Kemkumham Pujo Harinto, dalam seminar bertajuk Pengembangan Kebijakan Kelembagaan Keadilan Restoratif pada Rabu (6/7).

“Selain pada sistem pidana dewasa, RJ juga diterapkan pada sistem peradilan pidana anak (SPPA),” kata Pujo dalam keterangan pers. 

Pujo menjelaskan, dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, fungsi Pemasyarakatan meliputi pembinaan, pembimbingan, pengawasan, perawatan, serta pendampingan selama proses pelaksanaan pidana. Untuk pidana anak, SPPA yang meliputi beberapa hal, antara lain penyidikan dan penuntutan pidana anak, persidangan anak, serta pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan.

“RJ dilaksanakan sesuai tujuan pemasyarakatan, yakni pemulihan hubungan antara pelaku dan korban serta memenuhi hak keadilan bagi korban,” ujar Pujo.

Lebih lanjut, Pujo memandang, RJ sebagai solusi masalah over kapasitas di hampir seluruh lapas dan rumah tahanan negara se-Indonesia. Hal ini juga membantu dalam penghematan anggaran, misalnya pengehematan penyediaan bahan makanan. 

RJ juga dipandang serius dan masuk dalam prioritas Kementerian/Lembaga antara lain Piloting RJ, Griya Abhipraya, dan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan.

“Untuk tahun 2022, targetnya yakni menyusun keputusan bersama dengan melibatkan pihak lain, antara lain Kepolisian Republik Indonesia, Badan Narkotika Nasional, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Pujo. 

Namun, Pujo menyebut, masih terdapat hambatan yakni belum adanya payung hukum bersama tentang RJ. Adapun RJ dalam proses Pemasyarakatan, dapat dijabarkan mulai dari pra-ajudikasi, ajudikasi, dan post-ajudikasi. "Muaranya yakni mengurangi overcrowded," sebut Pujo. 

Senada dengan Pujo, Collie Brown selaku United Nations Office on Drugs and Crime Country Manager Indonesia mengatakan RJ merupakan solusi dan sarana resolusi bagi korban dan pelaku. 

"Kita perlu memastikan pelaku pelanggaran untuk bertanggung jawab atas perlakuannya dengan menggunakan outcome lain, misalnya menanggung biaya rehabilitasi dan lain sebagainya. Hal ini mendorong adanya perbaikan setelah terjadi pelanggaran,” ucap Collie. 

Program Director of Democrazy, Justice Governance and Regionalization Kemitraan, Rifqi Assegaf menilai RJ merupakan upaya dan proses untuk pemenuhan hak korban. Ia mengamati konsep RJ di Indonesia dilaksanakan untuk memenuhi kepentingan korban.

"Sehingga di akhir proses, ketidakseimbangan yang terjadi sebagai akibat dari tindak pidana yang terjadi dapat kembali seperti sediakala,” tutur Rifqi. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement