REPUBLIKA.CO.ID, KIEV -- Mantan presiden Rusia, Dmitry Medvedev mengatakan upaya Barat untuk menghukum negara nuklir seperti Rusia membahayakan umat manusia. Invasi Rusia di Ukraina pada 24 Februari telah memicu krisis terparah dalam hubungan Rusia-Barat sejak krisis rudal Kuba pada 1962, ketika dunia dikhawatirkan bakal dilanda perang nuklir.
Presiden AS Joe Biden menilai Presiden Rusia Vladimir Putin merupakan penjahat perang. Negara-negara Barat pimpinan AS telah mempersenjatai Ukraina dan menjatuhkan berbagai sanksi pada Rusia.
"Gagasan untuk menghukum salah satu negara nuklir terbesar adalah hal yang absurd dan berpotensi mengancam keberadaan manusia," kata Medvedev, yang kini menjabat wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, di Telegram, Rabu (6/7/2022).
Rusia dan Amerika Serikat menguasai sekitar 90 persen senjata nuklir di dunia, masing-masing memiliki sekitar 4.000 hulu ledak, kata Federasi Ilmuwan Amerika. AS adalah kerajaan yang menumpahkan darah di seluruh dunia, kata Medvedev, sambil menyebutkan pembunuhan terhadap penduduk asli Amerika, serangan nuklir AS di Jepang dan berbagai perang mulai dari Vietnam hingga Afghanistan.
Dia mengatakan upaya menggunakan pengadilan internasional untuk menyelidiki aksi Rusia di Ukraina akan sia-sia dan berisiko memicu kerusakan global. Ukraina dan sekutunya di Barat mengatakan pasukan Rusia telah melakukan kejahatan perang. Mereka juga mengatakan Rusia berusaha merebut wilayah negara lain seperti kekaisaran, yang menyulut konflik terbesar di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.
Pada Ahad, Putin mengeklaim telah meraih kemenangan terbesar setelah tentara Ukraina ditarik mundur dari wilayah Luhansk. Pasukan Rusia kemudian melancarkan serangan untuk merebut wilayah sebelahnya, Donetsk.
Luhansk dan Donetsk adalah dua wilayah yang membentuk Donbas, target utama pasukan Rusia sejak gagal merebut ibu kota Kiev di awal invasi.