Jumat 08 Jul 2022 04:43 WIB

Bagaimana Nasib Ekonomi Inggris Pasca-Boris Johnson Berhenti?

Siapa pun yang menggantikan Johnson harus mengambil keputusan besar tentang pajak.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Friska Yolandha
 Perdana Menteri Boris Johnson membacakan pernyataan di luar 10 Downing Street, London, secara resmi mengundurkan diri sebagai pemimpin Partai Konservatif, di London, Kamis, 7 Juli 2022. Johnson mengatakan Kamis bahwa dia akan tetap sebagai perdana menteri Inggris sementara kontes kepemimpinan diadakan untuk memilihnya. penerus.
Foto: AP/Frank Augstein
Perdana Menteri Boris Johnson membacakan pernyataan di luar 10 Downing Street, London, secara resmi mengundurkan diri sebagai pemimpin Partai Konservatif, di London, Kamis, 7 Juli 2022. Johnson mengatakan Kamis bahwa dia akan tetap sebagai perdana menteri Inggris sementara kontes kepemimpinan diadakan untuk memilihnya. penerus.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Pengunduran diri Perdana Menteri Boris Johnson memperdalam ketidakpastian yang menggantung atas ekonomi Inggris, yang sudah berada di bawah tekanan dari tingkat inflasi menuju dua digit, risiko resesi, dan Brexit. Pergantian Johnson, yang mengumumkan mundur pada Kamis (7/7/2022), bisa memakan waktu berminggu-minggu.

Kondisi itu akan membuat negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia pada risiko drift lebih lanjut pada saat sterling mendekati posisi terendah dua tahun terhadap dolar AS dan Bank of England (BoE) berada dalam dilema tentang menaikkan suku bunga tanpa merusak kegiatan ekonomi. Durasi kontes kepemimpinan Partai Konservatif bervariasi. Theresa May membutuhkan waktu kurang dari tiga minggu untuk menang setelah David Cameron berhenti pada 2016, ketika pesaing lainnya keluar.

Baca Juga

Namun butuh dua bulan bagi Johnson untuk menjadi pemimpin baru setelah May mengumumkan niatnya untuk mengundurkan diri pada 2019. Harapannya, ada setidaknya banyak orang untuk menjadi kandidat.

Berikut ini adalah ringkasan dari pertanyaan kunci yang menggantung di atas ekonomi Inggris saat drama politik dimainkan. Pertama, inflasi. Bahkan lebih dari banyak negara lain, Inggris merasakan tekanan dari tingkat inflasi yang mencapai level tertinggi 40 tahun sebesar 9,1 persen. BoE berpikir nilainya itu akan mencapai 11 persen akhir tahun ini.

Pada April, Dana Moneter Internasional mengatakan Inggris menghadapi inflasi yang lebih persisten, serta pertumbuhan yang lebih lambat, daripada ekonomi utama lainnya pada 2023. Penurunan sterling baru-baru ini telah menambah tekanan inflasi sejak saat itu, meskipun prospek peningkatan pengeluaran publik atau pemotongan pajak untuk menopang kekayaan Partai Konservatif sedikit mendorong nilai pound pada Kamis. Namun, siapa pun yang menggantikan Johnson hanya dapat berbuat untuk mengimbangi dampak lonjakan harga energi dan pangan global.

Kedua, kebijakan fiskal. Siapa pun yang menggantikan Johnson harus mengambil keputusan besar tentang pajak dan pengeluaran yang dapat mengurangi risiko resesi, tetapi mungkin juga dapat menambah panas inflasi dalam perekonomian. Ketika berhenti sebagai menteri keuangan, Rishi Sunak mengatakan dia tidak setuju atas kebijakan Johnson, yang telah lama mendorong lebih banyak pemotongan pajak. Prioritas jangka pendek Sunak sebelum mengundurkan diri adalah meringankan beban utang Inggris yang melonjak di atas 2 triliun pound selama pandemi virus corona.

 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement