REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait dengan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Gugatan tersebut diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB).
"Ya, tentu kami menghargai apapun yang diputuskan meskipun kami sangat menyayangkan, ya," kata Sultan kepada Republika, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (8/7/2022).
Sultan mengatakan, alasan DPD menyayangkan putusan MK tersebut karena argumentasi yang diberikan MK itu tidak jauh berbeda dengan argumentasi yang disampaikan MK pada sidang gugatan sebelumnya. Padahal, permohonan yang diajukan DPD justru menghadirkan argumentasi lebih tajam, dan lebih rasional dibandingkan gugatan sebelumnya.
"Kalau menurut saya sih lebih mencari aman, akhirnya dikembalikan lagi kepada open legal legacy. Padahal, menurut kami, MK bisa mengambil keputusan yang tegas," ujarnya.
"Apa sih ruginya mengabulkan, toh memang argumentasi yang dikemukakan oleh lembaga DPD maupun oleh pihak-pihak yang mengajukan, ada Partai Bulan Bintang, itu sudah sangat kuat," imbuhnya.
Menurut Sultan, ketentuan presidential threshold 20 persen menyebabkan biaya demokrasi Indonesia menjadi sangat mahal dan menimbulkan polarisasi di masyarakat. Ia pun mengapresiasi langkah pihak lain, termasuk partai politik yang juga mengajukan gugatan terhadap PT 20 persen.
Menurutnya, upaya tersebut merupakan sesuatu yang baik untuk demokrasi Indonesia ke depan. "Kenapa sesuatu yang ideal dan baik untuk demokrasi kita ini justru harus terhalangi oleh posisi presidential threshold itu, dan MK sebagai lembaga yang final dan mengikat itu punya keputusan atau sikap yang betul-betul seirama dengan harapan kita akan kemajuan demokrasi kita. Justru jangan semuanya diatur oleh parpol," tuturnya.
Ketua DPD RI LaNyalla Mattalitti sebelumnya juga menanggapi putusan MK tersebut. LaNyalla menyebut putusan tersebut merupakan kemenangan sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi yang menyandera dan mengatur negara ini.
“Mengapa saya katakan kemenangan sementara? Karena saya akan memimpin gerakan mengembalikan kedaulatan negara ini ke tangan rakyat, sebagai pemilik sah negara ini. Tidak boleh kita biarkan negara ini dikuasai oleh oligarki,” tegas LaNyalla, Kamis (7/7/2022).
LaNyalla mengaku heran ketika majelis hakim MK yang menyatakan bahwa Pasal 222 UU Pemilu disebut konstitusional. Ia menuturkan tidak ada ambang batas pencalonan di Pasal 6A Konstitusi.
“Yang paling inti adalah majelis Hakim MK tidak melihat dan menyerap perkembangan kebutuhan masyarakat. Padahal, hukum ada untuk manusia. Bukan manusia untuk hukum. Hukum bukan skema final. Perkembangan kebutuhan masyarakat harus jadi faktor pengubah hukum. Itu inti dari keadilan,” tegasnya.