REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasan Basri Tanjung
Syahdan, kala Nabi Ibrahim AS dan putrannya, Nabi Ismail AS, selesai meninggikan fondasi Ka'bah, Sang Pemilik Rumah Tua itu pun menyu ruh untuk menyerukan panggilan haji.Setelah itu, manusia pun berdatangan dari segala penjuru bumi menyebut nama Allah mulai 8 sampai 13 Dzulhijah (QS al-Hajj [22):27-28). Wukuf di Arafah pada 9 Dzulhijah 1443 H merupakan puncak spiritualitas ibadah haji. Nabi Muhammad SAW bersabda, Haji adalah wukuf di Arafah (HR Nasa'i).
Prof Quraisy Shihab dalam buku Membumikan Alquran menyebutkan, Di sanalah mereka seharusnya menemukan makrifat (pengetahuan) sejati tentang jati dirinya, akhir perjalanan hidupnya, serta menyadari langkah-langkahnya selama ini.Di sana pula seharusnya menyadari betapa besar dan agung Tuhan yang kepada-Nya bersembah seluruh makhluk, sebagaimana diperagakan secara miniatur di padang tersebut. Kesadaran-kesadaran itulah yang mengantarkannya untuk menjadi `arif(sadar dan mengetahui).
Ketika wukuf, seorang hamba pasrah diri di hadapan Allah SWT, sehingga merasakan keheningan di tengah keramaian. Segala topeng-topeng kepalsuan yang membalut dan aksesori duniawi yang melekat pun dilepaskan, selain dua lembar kain putih tak berjahit. Tiada guna berpura-pura lagi, sebab Allah SWT mengetahui segala yang tersembunyi di relung lubuk hati (QS Ibrahim [14]: 38).
Pada saat itu, seorang hamba harus jujur pada diri sendiri dan mengakui kesalahan. Seraya membisikkan sayyidul istighfar.Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menepati perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuan.Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab, tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau. (HR Muttafaq'alaih).
Kepasrahan ini selaras dengan pengakuan Abu Nawas dalam syair al- I'tiraf. Wahai Tuhanku, hamba tak pantas menjadi penghuni surga. Namun, hamba tak sanggup dimasukkan ke neraka. Terimalah taubat dan ampuni dosa-dosa hamba, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun atas segala dosa.
Dosa-dosa hamba bagaikan tumpukan pasir, terimalah taubat hamba Duhai Yang Mahamulia. Umur hamba kian berkurang hari demi hari, sementara dosa hamba kian bertambah, bagaimana mungkin hamba memikulnya.Wahai Tuhanku, hamba-Mu yang bergelimang dosa ini bersimpuh di hadapan-Mu. Jika Engkau mengampuni, karena Engkau memang Maha Pengampun.Namun, jika Engkau menolak, lalu kepada siapa lagi hamba berharap selain Engkau.
Akhirnya, petuah Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikampatut direnungkan. Kemaksiatan yang menimbulkan rasa hina dan penyesalan lebih baik daripada ketaatan yang menimbulkan rasa bangga dan kesombongan. Jika demikian, ibadah haji akan membekas dalam diri dan kita menjadi pencerah bagi umat. Itulah tanda kemabruran yang patut dibalas surga.Allahu a'lam bissawab.