Jumat 08 Jul 2022 17:39 WIB

Lima Dimensi Qurban

Antara lain, dimensi ubudiyyah, sosial kemasyarakatan, dan ekonomi.

Kurban Online Baznas yang digelar jelang perayaan Idul Adha menjadi momentum emas bagi para peternak mustahik untuk meningkatkan penghasilannya.
Foto: Baznas
Kurban Online Baznas yang digelar jelang perayaan Idul Adha menjadi momentum emas bagi para peternak mustahik untuk meningkatkan penghasilannya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Choirin

Ibadah qurban sebagai salah satu syariat yang ditetapkan oleh Islam  memiliki banyak dimensi. Bersama dengan Ramadan, Dzulhijjah ini memiliki dimensi spiritual yang sangat kuat. Jika spiritual Ramadan didapat melalui perjalanan puasa selama sebulan, maka spiritual seseorang di bulan Dzulhijjah digapai melalui ibadah haji di Tanah Suci. Dengan demikian, zakat fitrah dan ibadah qurban sengaja dihadirkan oleh syariat untuk memperhatikan fakir miskin pada kedua hari rata tersebut. Selain dimensi ibadah dan kemsyarakatan, ibadah qurban memiliki dimensi lain yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, dimensi ubudiyyah.  Menurut Syamsuddin Ar-Razi, ubudiyah hakikatnya adalah memenuhi janji, menjaga batasan-batasan, kerelaan atas apa yang ada, serta kesabaran atas kehilangan. Peristiwa Nabi Ibrahim dan Ismail merupakan bentuk ekspresi ubudiyah tertinggi dari seorang hamba atas perintah Tuhannya. Hal ini mereka lakukan sebagai ekspresi ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT.  (QS. As-Saffat [37]: 102)

Syariat untuk berqurban ini tidak hanya terjadi sampai zaman Nabi Ibrahim saja, tetapi terus berlanjut ke masa Nabi Muhammad SAW hingga saat ini, sebagaimana perintah Allah SWT kepada Rasulullah pada firman-Nya: “Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!” (QS. Al-Kausar [108]: 2)

Kedua, dimensi ijtima'iyyah (sosial kemasyarakatan).  Jika ibadah puasa kemuncaknya adalah Idul Fitri, maka kemuncak ibadah haji adalah Idul Adha. Kedua hari raya tersebut didahului dengan pengorbanan; pengorbanan puasa selama satu bulan dan pengorbanan melaksanakan manasik haji. Pada titik klimaks perjalanan spiritual tersebut, Allah menghadirkan nilai sosial kemasyarakatan. Jika pada hari raya Idul Fitri mensyariatkan zakat fitrah, maka Idul Adha mensyariatkan qurban. Kedua syariat tersebut dalam rangka menghadirkan kebahagiaan di hari bahagia. Agar kiranya fakir miskin dapat merasakan kebahagiaan bersama di hari bahagia. 

Ketiga, dimensi iqtishadiyah (ekonomi).  Sebagai ibadah yang diperintahkan Allah SWT, qurban memiliki dimensi spiritual dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu, dimensi sosial pada ibadah qurban ditunjukkan dengan distribusi daging qurban kepada masyarakat fakir miskin. Perkembangan peradaban membuat kurban memiliki dimensi ketiga: dimensi ekonomi. Nilai ekonomi ini muncul dari adanya transaksi jual-beli hewan qurban antara peternak dan pembeli. 

Potensi ekonomi qurban tahun 2022 diperkirakan  dapat mencapai Rp 31,6 triliun  atau meningkat 74 persen  dari potensi tahun 2021. Potensi ekonomi tersebut berasal dari 2,61 juta shohibul qurban dan sekitar 2,1 juta hewan qurban yang disembelih yang terdiri atas 1,6 juta ekor domba/kambing dan 521 ribu ekor sapi. Dari potensi ekonomi qurban yang telah dihitung, diproyeksikan setidaknya terdapat 11,8 juta Rumah Tangga  penerima manfaat qurban dengan minimal setiap rumah tangga mendapatkan 1,5 kg daging qurban baik sapi atau domba/kambing. 

Keempat, dimensi syiar Islamiyah.  Tidak ada yang paling membahagiakan selain daripada momen-momen kebersamaan kaum Muslimin. Hal itu terlihat dalam ibadah shalat berjamaah, shalat Jumat dan Hari Raya. Momen Idul Adha adalah momen yang sangat agung. Momen dimana kaum Muslimin dari seluruh penjuru dunia berkumpul di satu tempat dengan memakai atribut yang sama dan menghadap pada tuhan yang sama. ini adalah syiar yang paling agung. Syiar Allah SWT disini ialah segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji dan tempat-tempat mengerjakannya. 

Termasuk pula dalam hal ini ibadah qurban juga memberikan syiar terhadap lingkungan, saat di mana setiap ayah mengajak anak-anaknya untuk menyaksikan penyembelihan. Karenanya hal ini juga merupakan sebuah pembelajaran yang didapatkan sang anak agar senantiasa meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Kelima,  dimensi da'awiyah (dakwah). Salah satu di antara hal yang bisa gunakan untuk memperkuat dakwah Islam adalah menyalurkan hewan qurban di daerah tertinggal, di wilayah pedalaman dan perbatasan yang rawan dengan pemurtadan. Berdasarkan Indeks Rawan Pemurtadan PUSKAS Baznas  2018 pada studi lapangan dalam faktor-faktor terjadinya perpindahan agama, faktor ekonomi merupakan hal yang paling berperan dalam pemurtadan di suatu wilayah. 

Maka telah banyak inovasi yang telah dilakukan oleh penyelenggara qurban di antaranya skema titip qurban, kurban online, penyaluran qurban dalam bentuk daging kaleng olahan, dan lain sebagainya. Selain sebagai solusi pemerataan hewan qurban termasuk wilayah pedalaman, adanya inovasi ini memudahkan para shohibul qurban dalam menunaikan ibadah kurban. 

Penerima manfaat daging qurban adalah penerima yang memiliki kriteria kaum dhuafa, anak yatim piatu, jompo, difabel, mualaf, dan kaum rentan lainnya.  Selain itu daging qurban diberikan kepada penduduk di daerah miskin, tertinggal dan pedalaman yang belum pernah atau jarang mengonsumsi daging, mustahik di sekitar program Balai Ternak Baznas, pengungsi bencana alam dan panti jompo atau panti asuhan. Dengan sebaran penerima manfaat yaitu 80 persen  di daerah luar Ibukota dan yang lainnya di Ibukota. Dengan demikian diharapkan hal ini selain untuk mencegah terjadinya rawan pemurtadan, juga sebagai sarana dakwah kepada umat Muslim yang memang masih minim pengetahuan agama maupun kepada para muslim-muslim baru yang muncul di daerah tersebut. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement