Anggota DPR : Percepat Bentuk PP-Perpres Turunan UU TPKS

Sosialisasi UU TPKS banyak dilakukan masyarakat yang mengawal pembentukan UU TPKS

Jumat , 08 Jul 2022, 19:47 WIB
Ketua DPR Puan Maharani berfoto dengan kelompok dan aktivis perempuan di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/4/2022). Dalam kesempatan tersebut kelompok dan aktivis perempuan memberikan apresiasi kepada DPR karena telah berhasil mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR lalu.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Ketua DPR Puan Maharani berfoto dengan kelompok dan aktivis perempuan di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/4/2022). Dalam kesempatan tersebut kelompok dan aktivis perempuan memberikan apresiasi kepada DPR karena telah berhasil mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR lalu.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Luluk Nur Hamidah menilai pemerintah perlu segera membuat Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang nomor 12 tahun 2020 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Dia mengingatkan, UU TPKS mengamanatkan pembentukan 10 PP dan Perpres sebagai pedoman teknis pelaksanaan UU TPKS.  “Meskipun UU memberikan waktu hingga 2 tahun dari sejak ditetapkannya sebagai UU, namun mengingat urgensi dan kedaruratan situasi dan kondisi kekerasan  seksual di tanah air, maka mestinya pemerintah menyegerakan dan memprioritaskan PP dan Perpres tersebut,” kata Luluk, Jumat (8/7/2022).

Baca Juga

Dia menilai, hingga saat ini publik menilai bahwa sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak cukup terkait UU TPKS yang dilakukan melalui media cetak elektronik, ataupun saluran media lainnya.

Menurut dia, sosialisasi justru lebih banyak dilakukan kelompok masyarakat sipil ataupun individu- individu yang sejak awal melakukan pengawalan terhadap pembentukan UU TPKS, padahal semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah. 

"Hingga saat ini, aparat penegak hukum di lapangan juga kesulitan menjadikan UU TPKS sebagai rujukan dalam penanganan kasus kekeraaan seksual karena tidak adanya sosialisasi, SOP, pelatihan dan bimbingan teknis terkait hukum acara yang digunakan dalam UU TPKS," ujarnya.

Dia menilai, korban kekerasan seksual pasca-disahkannya UU TPKS, tidak langsung ditangani menggunakan hukum acara sesuai UU tersebut karena tidak adanya pedoman teknis . Hal itu menurut dia seharusnya menjadi atensi serius pemerintah, jangan terkesan masih memiliki waktu dua tahun, lalu tidak ada alasan untuk segera membuat PP dan Perpres.

"Berbagai peristiwa kekerasan seksual yang terjadi akhir-akhir ini, terutama korban anak-anak yang terjadi di lingkungan keluarga, ataupun korban di bawah pelindungan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan keagamaan berasrama- pesantren, panti asuhan, seperti kejadian di Depok, Cianjur, dan berbagai daerah lainnya, masih terus terjadi dengan intensitas yang mengerikan," katanya.

Selain itu menurut dia, kebuntuan prosedur penanganan TPKS  karena koordinasi yang belum terpadu antar-institusi, yang pada akhirnya korban kekerasan seksual akan tetap menderita karana tidak segera mendapat pendampingan dan pemulihan. 

"Saya harap pemerintah melakukan langkah cepat yg menyangkut masalah teknis dengan mengintensifkan koordinasi antar K/L terkait. Seharusnya dalam waktu enam bulan sejak ditetapkan sebagai UU, pemerintah sudah siap dengan PP dan Perpres," ujarnya.

Menurut dia, hal yang harus segera dipercepat adalah pelatihan bagi aparat penegak hukum (APH) yaitu mendapat sosialisasi dan minimal SOP yang dapat digunakan dalam penanganan kasus kekerasan seksual pasca UU TPKS disahkan.