REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Berita penembakan mantan Perdana Menteri Shinzo Abe di siang bolong mengejutkan tidak hanya Jepang tetapi seluruh dunia. Peristiwa ini menampar negara dengan tingkat kejahatan yang relatif rendah dengan pengaturan senjata yang ketat.
Masih banyak yang belum jelas tentang motif dan identitas tersangka dalam serangan pada Jumat (8/7/2022). Abe diketahui ditembak saat berkampanye di Nara untuk Partai Demokrat Liberal dan meninggal di rumah sakit. Pemilihan parlemen dijadwalkan pada Ahad (10/7/2022).
Negara berpopulasi 125 juta penduduk ini hanya memiliki 10 kasus kriminal terkait senjata tahun lalu. Polisi menyatakan, kasus tersebut mengakibatkan satu kematian dan empat cedera dengan delapan dari kasus itu terkait dengan geng.
Tokyo tidak memiliki insiden senjata, cedera, atau kematian selama tahun yang sama, meskipun 61 senjata disita di kota tersebut. Terakhir kali penembakan profil tinggi terjadi pada 2019, ketika seorang mantan anggota geng ditembak di tempat karaoke di Tokyo.
Meskipun universitas-universitas besar di Jepang memiliki klub senapan dan polisi Jepang bersenjata, kebanyakan orang Jepang menjalani hidup tanpa pernah memegang atau bahkan melihat senjata sungguhan. Penusukan lebih sering terjadi sebagai kejahatan fatal.
Perdebatan tentang hak untuk memiliki senjata adalah masalah yang jauh di Jepang dan telah berlangsung selama beberapa dekade. "Orang-orang Jepang dalam keadaan shock,” kata profesor di College of Risk Management di Nihon University di Tokyo Shiro Kawamoto.
Menambah kerumitan kondisi penembakan adalah laporan senjata yang digunakan dalam serangan itu mungkin buatan sendiri. Artinya pengawasan senjata yang ada bisa jadi tidak efektif.
Spekulasi sudah tersebar luas bahwa personel keamanan Abe mungkin menghadapi pertanyaan serius. Namun serangan seperti itu luar biasa di Jepang, menjadikan keamanan yang relatif ringan sebagai norma, bahkan untuk mantan perdana menteri.
Kawamoto menyatakan, acara kampanye saat Abe diserang menarik banyak orang, membuat keamanan menjadi tantangan. "Ini berfungsi sebagai peringatan bahwa kekerasan senjata dapat terjadi di Jepang, dan keamanan untuk melindungi politisi Jepang harus diperiksa kembali,” katanya.
"Menganggap serangan semacam ini tidak akan pernah terjadi akan menjadi kesalahan besar," ujarnya.