REPUBLIKA.CO.ID, VATIKAN -- Paus Fransiskus menyoroti krisis dan gejolak yang sedang berlangsung di Sri Lanka. Dia menyerukan para pemimpin di negara tersebut tak mengabaikan seruan orang-orang miskin dan kebutuhan rakyat.
Saat berbicara di Lapangan Santo Petrus, Ahad (10/7/2022), Paus Fransiskus menyampaikan solidaritas kepada rakyat Sri Lanka. Menurutnya, warga di sana terus menderita akibat ketidakstabilan ekonomi dan politik. “Bersama dengan para uskup negara ini, saya memperbarui seruan saya untuk perdamaian,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, dia pun kembali menyampaikan dukungannya kepada rakyat Ukraina. “Semoga Tuhan menunjukkan jalan untuk mengakhiri perang gila ini,” ujar Paus Fransiskus.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah diumumkan akan mundur pada 13 Juli mendatang. Kabar itu dipublikasikan setelah ribuan warga di sana menyerbu dan menggeruduk kediaman resmi Gotabaya pada Sabtu (9/7/2022). “Keputusan untuk mundur pada 13 Juli diambil untuk memastikan penyerahan kekuasaan secara damai. Oleh karena itu, saya meminta masyarakat menghormati hukum dan menjaga perdamaian,” kata Ketua Parlemen Sri Lanka Mahinda Yapa Abeywardana, dikutip dari Reuters.
Pengumuman itu disambut gempita oleh rakyat Sri Lanka. Di ibu kota, Kolombo, sejumlah warga menyulut kembang api untuk merayakan jatuhnya Gotabaya. Tidak ada pernyataan resmi apa pun dari Gotabaya terkait penggerudukan kediaman resminya maupun perihal pengunduran dirinya.
Sri Lanka sudah dibekap gelombang demonstrasi sejak Maret lalu. Awalnya warga turun ke jalan untuk memprotes pemadaman listrik bergilir yang kian parah di sana. Namun seruan agar presiden mundur sudah muncul sejak unjuk rasa mulai bergulir. Sri Lanka memang tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun terakhir. Hal itu diperburuk dengan dampak yang ditimbulkan pandemi Covid-19.
Dari Maret ke bulan-bulan berikutnya, kondisi ekonomi Sri Lanka kian terperosok. Inflasi melambung tinggi dibarengi dengan naiknya harga bahan pokok dan mulai langkanya bahan bakar minyak (BBM). Hal itu pula yang membuat warga Sri Lanka mempertahankan aksi demonstrasinya. Mereka menuntut perbaikan hidup dan reformasi pemerintahan.
Pada Juni lalu, inflasi di Sri Lanka mencapai 54,6 persen. Angka itu diperkirakan bakal menyentuh hingga 70 persen dalam beberapa bulan mendatang. Saat ini Sri Lanka sudah menangguhkan pembayaran utang luar negerinya. BBM pun tak lagi dijual untuk umum karena stok yang tersedia hanya untuk mempertahankan layanan esensial, seperti rumah sakit dan pembangkit listrik.
Sri Lanka sudah kesulitan mengimpor BBM karena utang pembelian minyaknya telah menggunung. Saat ini negara tersebut sedang berusaha memperoleh dana bailout dari Dana Moneter Internasional (IMF) senilai 3 miliar dolar AS. Kolombo pun melakukan penggalangan dana dari sumber multilateral dan bilateral guna mengurangi kekeringan dolar.