REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Buya Amirsyah Tambunan, menyampaikan, di hari yang bersejarah ini yakni Idul Adha, umat Islam diingatkan kembali terhadap perjuangan dan pengorbanan Nabi Ibrahim Alaihissalam.
Buya Amirsyah mengatakan, maka pertanyaannya adalah pengorbanan apa yang telah umat Islam lakukan sebagai seorang Muslim demi cita-cita hidup sebagai hamba Allah. Islam adalah agama yang menuntut bukti perjuangan dan pengorbanan dari setiap hambanya.
"Lihatlah kehidupan para Nabi dan Rasul, para sahabat Nabi, para syuhada, mujahidin dan shalihin, tak satupun di antara mereka yang sepi dari cobaan atas perjuangan dan pengorbanan, baik dalam bentuk moril maupun materiil, bahkan harta, jiwa dan raga telah mereka serahkan untuk kejayaan Islam," kata Buya Amirsyah kepada Republika, Ahad (10/7/2022).
Ia mengatakan, dengan modal sabar, ikhlas, ridha menjalankan perintah Allah sami’na wa’stho’na merupakan landasan yang kuat dalam menghadapi ujian dan cobaan. Oleh Karena itu, marilah peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Ismail harus dijadikan i’tibar, suatu pelajaran dan peringatan. Yakni bahwa anak dan harta hakikatnya adalah milik Allah, dan kepada- Nya harus dikembalikan.
"Harus kita sadari semua itu hanyalah amanat Allah, karena itu kita dituntut untuk mengorbankan sebagian harta itu untuk ditasarufkan di jalan Allah bagi kepentingan ibadah sosial dan kemasyarakatan," ujarnya.
Buya Amirsyah mengatakan, secara normatif ritual haji dan kurban adalah bukti kepedulian Islam dan pemeluknya kepada kaum dhuafa dan mereka yang tertindas. Ibadah tersebut merupakan otokritik dan koreksi terhadap seluruh kehidupan sosial yang terdapat ketimpangan, dan penderitaan bagi sebagian warga masyarakat.
Ia menjelaskan, persoalannya adalah bagaimana Muslim mampu memberikan solusi baik secara normatif maupun secara empiris dalam menyelesaikan berbagai problem kehidupan umat manusia. Ritual haji dan kurban bukan sekedar pergi ke Makah, wukuf di Arafah, dan membagikan daging kepada fakir miskin, tapi bagaimana praktik ritual itu benar-benar mampu menjadi motivasi untuk mengatasi kemiskinan, membebaskan penderitaan, dan menghentikan keculasan moral politik kekuasaan.
"Selalu penting dicari tafsir baru yang lebih operasional dari pada pergi haji setiap tahun dengan kuota yang semakin terbatas di tengah mayoritas warga yang miskin dan menderita. Perlu ada fatwa larangan haji berkali-kali di tengah terbatasnya kuota. Perlu dicari praktik ibadah kurban daripada sekedar membagi sekerat daging kepada kaum dhuafa yang dari tahun ke tahun tetap dalam kemiskinan dan penderitaan," ujar Buya Amirsyah.
Ia mengatakan, ironisnya, ritual haji dan kurban sering menjadi ajang pamer kekuasaan dan kekayaan, alih-alih memihak kepada fakir miskin. Sering kali melihat bagaimana pelaksanaan ibadah haji dan kurban dijadikan pemutihan dosa, peneguhan spiritual bagi kelanggengan kekuasaan, untuk meraih jabatan atau kekayaan dalam tempo singkat secara tidak wajar.
"Tidak jarang seseorang pergi haji dan berkurban guna mencari status sosial sebagai topeng kesalehan dari mereka yang culas dan korup," ujarnya.