REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi Syariah, Yusuf Wibisono, menyarankan lembaga amil zakat (LAZ) dan filantropi di Indonesia melakukan mitigasi secepatnya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi dampak sistemik dari kasus yang menimpa Aksi Cepat Tanggap (ACT) terhadap LAZ dan filantropi lain.
Yusuf mengatakan, sebaiknya LAZ dan filantropi lain secepatnya menunjukan diri kepada publik bahwa mereka adalah lembaga yang terpercaya dan terbuka. Ini dilakukan untuk memitigasi dampak dari kasus ACT, agar jangan sampai kepercayaan umat luntur dan tergerus. Karena umat Islam juga tentu tidak menginginkan itu.
"Kalau bisa ada langkah langkah-langkah contra action, misalkan contoh sederhana, lembaga amil zakat (dan filantropi) berani tidak mencantumkan di websitenya masing-masing berapa gaji para pemimpinnya, itu keren itu," kata Yusuf kepada Republika, Ahad (10/7/2022).
Ia mengatakan, kalau LAZ dan filantropi berani, buka saja gaji pimpinannya berapa. Kalau memang tidak bermasalah, seharusnya tidak ada masalah bagi mereka membuka besaran gajinya kepada publik.
Ia menjelaskan, yang perlu dibuka ke publik misalnya sebuah yayasan, ketua dewan pembinanya siapa dan gajinya berapa. Apakah dewan pembinanya digaji atau tidak, karena kalau dari hukum yayasan seharusnya tidak boleh menerima gaji. Pengurus tentu boleh digaji asalkan mereka bekerja, berapa gajinya, terutama para direkturnya berapa gajinya.
"Kalau ada langkah-langkah seperti itu, bisa menunjukan transparansi kepada publik bahwa (lembaga) kami beda loh, saya pikir ini bisa menjadi hal yang bisa efektif mencegah snow ball efek dari ACT ini, saya yakin umat juga cerdas," ujar Yusuf yang juga Direktur Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS).