Senin 11 Jul 2022 01:24 WIB

Belajar dari Kasus ACT, Tanpa Integritas Kepercayaan Publik kepada Filantropi akan Hilang

Tanpa etika dan integritas itu, maka lembaga filantropi akan tidak bermakna.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Karta Raharja Ucu
Pegawai beraktivitas di kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT), Menara 165, Jakarta, Rabu (6/7/22).Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
Pegawai beraktivitas di kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT), Menara 165, Jakarta, Rabu (6/7/22).Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus ACT yang diduga melakukan penyalahgunaan dana donasi publik kepada lembaga amal filantropi jadi catatan evaluasi. Sebab tanpa integritas dan etika sebagai lembaga amal filantropi akan kehilangan kepercayaan publik, dan ini sangat merugikan program-program mensejahterakan masyarakat.

Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Rizal Algamar mengatakan kasus ACT tersebut harus menjadi pembelajaran bersama, khususnya bagi lembaga-lembaga amal filantropi. Bagaimana etika dan integritas mengumpulkan dana donasi dari masyarakat untuk kegiatan sosial, tetap didahulukan.

"Menjaga kepercayaan amanah dan kepercayaan bagian dari integritas dan etika filantropi sebagai lembaga kepercayaan masyarakat. Tanpa etika dan integritas itu, maka lembaga filantropi akan tidak bermakna," kata Rizal dalam diskusi Polemik Pengelolaan Dana Filantropi, Sabtu (9/7/2022).

Baca juga : PPATK Temukan Indikasi Pendanaan Teroris oleh ACT Sejak 2014

Menurut dia, berkaca pada kasus ACT, berbagai persoalan yang terkait etika dan integritas lembaga filantropi, apabila tidak direspon dengan perubahan yang lebih baik maka akan berdampak pada lembaga filantropi secara keseluruhan. Karena kepercayaan publik atau masyarakat dapat tergerus disebabkan praktik-praktik filantropi yang mengabaikan etika dan integritas.

"Kepercayaan tersebut hanya dapat dijaga bila pengelola filantropi mengerjakan tugas tugas pengelolaannya, bukan sekedar profesionalitas dan akuntabilitas saja. Tapi juga mencerminkan etika dan integritas yang tinggi sebagai pengelola dana masyarakat," tegasnya.

Sebagai pengurus perkumpulan filantropi yang ada di Indonesia, diakui Rizal, sebenarnya sudah ada pedoman dan kode etik lembaga filantropi Indonesia yang dibuat. Tujuannya meningkatkan kinerja dan kepercayaan masyarakat terhadap program-program filantropi yang mensejahterakan rakyat. Dan yang lebih utama, menjadi pegangan bagi filantropi agar tidak menyalahi etika dan integritasnya.

"Kita sebenarnya miliki kode etik filantropi. Namun dengan adanya kasus ACT kemaren, maka kode etik ini harus lebih bisa disosialisasikan dan direalisasikan bagi seluruh lembaga filantropi di Indonesia," ungkapnya.

Baca juga : Belajar dari ACT, Sudirman Said: Jangan karena Tikus Lumbung Dibakar

Disadari Rizal, isu dan kasus ACT memang perlu adanya pembenahan secara menyeluruh semua pengelola lembaga filantropi di Indonesia. Karena kesalahan sedikitpun etika yang dilanggar lembaga filantropi, menurut dia akan menjadi tragedi sosial dan kemanusiaan, sebab akan mengganggu rasa kemanusiaan.

Untuk itu, kata dia, kedepan akan ada Majelis Etik Filantropi Indonesia. Majelis etik ini untuk menjadi pengingat dan pemberi sanksi bagi lembaga-lembaga filantropi di Indonesia yang sudah tergabung dan memiliki izin, namun dalam pengelolaannya diduga atau didapati melanggar etika dan integritas lembaga filantropi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement