Jamaah masjid di Christchurch, New Zealand berguguran sebagai syuhada. Penembakan brutal yang dilakukan oleh seorang pria Australia telah mencabut puluhan nyawa jamaah yang sedang sholat jumat di masjid itu. Perdana Menteri New Zealand, Jacinda Ardern menyebut tragedi ini sebagai "Salah satu hari terkelam di negerinya" Juga sebagai tindakan teroris yang nyata.
Berbagai pemimpin negara lain juga mengecam aksi ini. Tak terkecuali presiden AS, Donald Trump. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan duka untuk muslim yang menjadi korban. Begitulah, presiden AS masih antiIslam. Sementara senator Australia justru menyalahkan muslim atas terjadinya aksi teror ini.
Terlepas dari berbagai komentar berbagai negara. Bahwa sebagai seorang muslim, skala prioritas merespon berita yang paling urgent adalah terkait hilangnya nyawa muslim. Meskipun hanya satu nyawa, itu adalah persoalan besar di sisi Allah. Apalagi jika puluhan nyawa. Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim (HR An Nasa'i).
Apa yang sebenarnya memicu aksi penembakan brutal yang dilakukan oleh pria Australia berusia 28 tahun itu? Lalu kenapa senator Australia justru menyalahkan umat islam di New Zealand yang sebagian besarnya merupakan imigran?
Australia adalah negara yang terdekat dengan New Zealand. Mereka berada pada satu kawasan yang disebut Australia Oceania. Mereka juga berada dalam satu kawasan kerajaan geopolitik.
Australia jelas memiliki kepentingan di kawasan ini. Ketika ada banyak imigran yang memang bukan kulit putih dan muslim. Jelas ini sangat menganggu kepentingan Australia di kawasan ini. Dari data-data korban, didapatkan bahwa mereka adalah imigran Muslim dari Asia dan Afrika.
Motif supremasi kulit putih dan anti imigran (muslim) memang wacana yang dimainkan untuk melatarbelakangi aksi ini. Dibalik motif itu ada industri Islamophobia di barat.
Apalagi Australia adalah lahan subur tumbuhnya Islamophobia. Ketakutan barat terhadap Islam ini membuat para ekstrimis sayap kanan berpikir bahwa sah menghabisi muslim. Inilah salah satu hasilnya.
Penembakan muslim yang sedang beribadah di masjid. Penembakan brutal ini juga membuktikan bahwa islamophobia yang dibalut supremasi kulit putih telah berhasil.
Jika melihat sejarahnya, sebenarnya penduduk asli new Zealand adalah suku Maori dan penduduk asli Australia adalah suku Aborigin. Lalu datang orang Eropa atau si kulit putih. Mereka ingin menjadikan wilayah tersebut sebagai koloninya. Juga menyingkirkan penduduk asli. Jadi sebenarnya kulit putih juga merupakan imigran sebab suku Aborigin dan Maori yang lebih dulu menempati Australia dan New Zealand adalah non kulit putih.
Semangat mencari daerah jajahan dan berkuasa atas daerah jajahan karena merasa ras terbaik memang sudah sejak dulu mengakar kuat dalam diri kulit putih. Inilah yang memicu supremasi kulit putih. Orang non-Eropa akan dipandang sebagai sindrom yang harus disingkirkan.
Di Australia yang merupakan lahan subur islamophobia, otomatis di negeri kanguru ini juga berkembang teroris ekstremis, sayap kanan. Bagi mereka, Islam memang senantiasa menjadi ancaman.
Terlebih Islam telah berkembang cukup pesat di Selandia Baru. Diprediksi bahwa tahun 2030, jumlah muslim di New Zealand bisa mencapai 100 ribu jiwa. Maka mereka menggunakan slogan supremasi kulit putih untuk menyerang umat islam.
Aksi teror yang dilakukan salah satu warga kulit putih ini memang untuk menunjukkan pada dunia bahwa muslim dimanapun tidak akan bisa aman. Meski di New Zealand yang terkenal sebagai negeri paling aman sekalipun. Ini membuktikan bahwa umat islam butuh perisai/pelindung dalam bentuk institusi negara yang dipimpin oleh seorang pemimpin muslim. Kepemimpinan seorang muslim dalam naungan negara yang menerapkan aturan islam tentu jauh lebih baik dalam memberikan perlindungan.
Sehingga setiap jiwa merasa aman tinggal dimanapun. Sungguh setiap wilayah adalah bumi Allah. Sangat layak untuk ditempati oleh siapapun. Baik kulit putih maupun non putih. Setiap jengkal bumi Allah adalah tempat untuk beramal yang terbaik.