Berakhir sudah pesta demokrasi yang berlangsung pada tanggal 17 April lalu. Tentunya para kontestan ketar-ketir menunggu hasil keputusan. Tak sedikit harta yang dikeluarkan untuk membiayai pencalonan menuju kekuasaan. Selama ini lumrah terjadi sogok-menyogok, bagi-bagi hadiah untuk meraih simpati.
Terpisahnya urusan agama dari negara membuat mereka yang terlibat dalam politik uang merasa sah-sah saja melakukan hal tersebut. Karena untuk meraih kekuasaan dibutuhkan suara terbanyak. Penelitian yang dilakukan peneliti psikolog politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mendapatkan keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal: diketahui, dikenal, dan disukai.
Ketika ketiga hal di atas tidak terpenuhi, maka cara termudah ialah melakukan politik uang, bagi-bagi sembako dan sejenisnya, sembari menitipkan nama. Padahal Islam mengajarkan kekuasaan hanya digunakan untuk mengurusi urusan umat.
Politik dibangun atas dasar sikap takwa, karena dengan ketakwaan seorang pemimpin menjalankan tugasnya berdasarkan hukum Allah. Kekuasaan dalam Islam adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Pencipta. Saat pemimpin benar-benar memahami Islam dan bertakwa, maka ia akan melaksanakan Islam secara kaffah sehingga membawa keadilan dan kesejahteraan.
Wallahua'lam bishshowwab.
Pengirim: Waryati, Ibu rumah tangga asal Jatinangor Kabupaten Sumedang