Tak terasa, akhir Ramadhan tiba. Kesedihan mengiringi perginya. Rasa menyesal tak optimal dalam menjalani ibadah di dalamnya. Pun tidak mengetahui akankah Ramadan tahun depan bersua lagi.
Menjadi evaluasi diri apakah tujuan puasa yaitu takwa telah tercapai. Sebagaimana firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (Q.S. Al Baqoroh : 183)
Secara etimologi, takwa berasal dari kata waqa-yaqi–wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari, dan menjauhi. Sedangkan secara terminologi, takwa adalah takut kepada Allah SWT berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan tidak melanggar segala larangan-Nya. Serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa.
Takwa terulang dalam Alquran sebanyak 259 kali dengan segala derivasinya. Kandungan maknanya beragam, di antaranya: memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan. Intinya, takut mendapat azab dari Allah SWT sehingga giat menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Saat Ramadhan, kita rela meninggalkan makan dan minum karena Allah. Hendaknya di luar Ramadhan, kita lebih mampu menjauhkan diri dari makan minum yang tidak halal.
Jika dalam siang Ramadhan kita tidak melakukan hubungan intim dengan pasangan halal tersebab Allah, tentu di luar Ramadhan kita akan menghindar dari zina dan pergaulan bebas lainnya. Sebelas bulan berikutnya adalah waktu pembuktian sejauh mana tarbiyah di bulan Ramadan mampu membentuk diri menjadi insan bertakwa.
Mudah-mudahan kita dimudahkan menjadi sosok istiqomah yang senantiasa berpegang pada perintah dan larangan Allah SWT. Tak hanya untuk kehidupan pribadi. Juga dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara.