Kasus hukum yang membelit Baiq Nuril Maknun, guru honorer di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) tujuh Mataram Nusa Tenggara Barat, akhirnya menempuh jalan panjang yang berliku. Setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan Baiq Nuril untuk melakukan peninjauan kembali (PK) terhadap kasus hukum yang dialaminya.
Persoalan hukum yang dihadapi oleh Baiq Nuril, adalah persoalan antara atasan dengan bawahan, dilingkungan dimana Baiq Nuril sebagai guru honor disekolah tersebut , yang dapat untuk diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan.
Perseteruan antara Baiq Nuril Dengan Kepala SMAN Tujuh Muslim terjadi pada pertengahan tahun 2012 yang lalu. Dimana Muslim menelpon Baiq Nuril hanya untuk menceritakan pengalaman Seksualnya dengan seorang wanita yang bukan isterinya.
Menurut Nuril percakapan via telefhone itu mengarah kepada pelecehan seksual terhadap dirinya. Maka Nuril merekam pembicaraan kepala sekolah dengan dirinya. Dan kemudian rekaman itu diserahkan oleh Nuril kepada temanya Imam. Belakangan rekaman percakapan itu tersebar luas dimedia sosial (medsos).
Tersebarnya rekaman hasil pembicaraan itu, kemungkinan membuat Muslim merasa malu, lantas mengadukan Baiq Nuril kepada pihak Kepolisian, dengan tuduhan mempermalukankan dirinya dan keluarganya.
Pengaduan Muslimpun direspon oleh pihak Kepolisian. Setelah melakukan pemeriksaan terhadap para pihak dan saksi saksi, polisi kemudian menetapkan Baiq Nuril sebagai tersangka. Dan akhirnya kasus itupun bergulir sampai kemeja hijau.
Dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, hakim menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril. Dalam amar putusannya hakim menyatakan jika Nuril tidak terbukti melakukan perbuatan yang melanggar hukum.
Namun bebasnya Nuril dari tuntutan hukum, membuat sang Jaksa merasa keberatan, Jaksapun melakukan Banding Kepengadilan Tinggi. Celakanya bagi Nuril, Banding yang diajukan Oleh Jaksa membuahkan hasil. Pengadilan tinggi mengabulkan permohonan banding yang diajukan oleh Jaksa.
Hakim pengadilan Tinggi Nusa Tenggara Barat menjatuhkan vonis Enam bulan penjara dan denda sebesar Rp 500 juta kepada Nuril, karena Nuril terbukti bersalah, mengedarkan hasil rekaman percakapan dirinya dengan Kepala Sekolahnya tampa seizin kepala sekolahnya.
Akan tetapi pihak ke Jaksaan menunda untuk melakukan eksekusi terhadap Nuril, penundaan eksekusi itu dilakukan oleh Jaksa karena banyaknya desakan publik agar Nuril dibebaskan dari tuntutan hukum, karena Nuril adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolahnya.
Sebagai orang yang mencari keadilan, Nuril dan pengacaraya tentu tidak tinggal diam dan menerima begitu saja putusan pengadilan tinggi Nusa Tenggara Barat.
Nuril dan pengacaranya menempuh berbagai jalur hukum untuk membatalkan putusan pengadilan tinggi yang menjatuhkan vonis kepada Nuril. Mulai dari Kasasi sampai kepada PK pun dilakukan.
Kerja keras yang dilakukan oleh Nuril dan pengacara untuk mendapatkan keadilan akhirnya kandas. Setelah Kasasi dan PK yang dimohonkan kepada MA ditolak.
Akibat penolakan ini Nuril terancam masuk bui enam bulan dan membayar denda sebesar Rp 500 juta. Jalan terakhir yang ditempuh Nuril adalah mengajukan Amnesti (Pengampunan) kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dan jalan inilah yang ditempuh oleh Baiq Nuril Maknun.
Apa yang dialami oleh Baiq Nuril Maknun, menurut banyak kalangan, Nuril adalah korban dari pradilan sesat yang dilakukan oleh para pemangku hukum. Karena Nuril adalah korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh atasannya. Sebagai korban tidaklah layak jika Nuril dijatuhi hukuman.
Benarkah Nuril korban dari pradilan sesat?, untuk menjawabnya tentu diperlukan fakta fakta hukum yang melatar belakangi kasus hukum yang menjerat Nuril.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Polisi Nurul dikenakan pasal 27 ayat (I) juncto pasal 45 ayat (I) Undang Undang (UU) Impormasi Transaksi Elektronik (ITE ).
Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 27 ayat (I), juncto pasal 45 ayat (I) UU nomor : 11 Tahun 2008 Tentang ITE menyebutkan : Melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya impormasi elektronik dan/atau dekumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik.
Jika mengacu kepada pasal 27 ayat (I) UU nomor : 11 Tahun 2008 Tentang ITE, Nuril jelas telah melakukan pelanggaran hukum. Sekalipun Nuril disebutkan sebagai korban pelecehan seksual oleh atasannya.
Seharusnya Nuril jika merasa diperlakukan tidak senonoh, dalam arti kata dilecehkan secara seksual, Nuril seharusnya menempuh jalur hukum dengan mengadukan kepala sekolahnya kepada pihak Polisi, dengan alat bukti rekaman percakapan yang ada pada Nuril. Bukan menyerahkan rekaman percakapan itu kepada orang lain, kemudian tersebar secara luas di medsos.
Kasus hukum yang dialami oleh Nuril, bukanlah peradilan sesat. Karena apa yang dilakukan oleh Nuril memenuhi unsur pidana pada pasal 27 ayat (I) juncto pasal 45 ayat (1) UU nomor : 11 Tahun 2008 Tentang ITE.
Berbeda dengan kasus yang dialami oleh Sengkon dan Karta dua petani yang tinggal didesa Cakung Payangan, ditangkap oleh Polisi atas tuduhan pembunuhan pasangan suami isteri (Pasutri) Sulaiman dan Siti Haya penduduk desa bojosari pada tahun 1974. Pelaku pembunuhan bukan saja menghabisi nyawa korbannya, tapi juga menggasak barang barang berharga milik korban.
Dalam persidangan Sengkon dan Karta membantah semua Tuduhan itu, keduanya juga mencabut seluruh keterangan yang ada didalam BAP yang dibuat oleh Polisi. Alasan pencabutan BAP itu, karena dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Polisi, mereka mengalami kekerasan yang dilakukan oleh Polisi.
Namun bantahan yang dilakukan oleh Sengkon dan Karta, tidak menyurutkan pihak hakim yang dipimpin oleh Djur Netty Soetrisno untuk menjatuhkan vonis 12 tahun penjara buat Sengkon dan 7 tahun penjara untuk Karta.
Lima tahun Sengkon dan Karta menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Sengkon dan Karta bertemu dengan Genul yang juga masih kerabatnya. Genul menjadi nara pidana di LP Cipinang dalam kasus pencurian.
Dari Genullah Sengkon dan Karta mengetahui jika yang membunuh dan merampok Sulaiman dan Siti Haya adalah Genul. Setelah Gemul menceritakannya kepada Sengkon dan Karta.
Sengkon dan Karta kemudian menceritakannya kepada Albert Hasibuan seorang pengacara yang tinggal di Jakarta. Albert kemudian membawa kasus itu kepengadilan. Dalam persidangan Genul mengakui perbuatannya merampok dan membunuh Sulaiman dan Haya. Dalam kasus ini Genul divonis dengan hukuman 12 tahun penjara.
Mirisnya, walaupun pembunuh Sulaiman Dan Siti Haya sudah diponis pengadilan, namun vonis yang dijatuhkan kepada Sengkon dan Karta tidak serta merta membuat Sengkon dan Karta dapat untuk dibebaskan, karena vonis terhadap Sengkon dan Karta berkekuatan hukum dan ingkrah, sehingga tidak ada celah hukum yang dapat untuk membatalkannya.
Dunia hukum tanah airpun menjadi geger . Penradilan sesat Sengkon dan Karta menuai polemik. Untuk tidak menjadi opini liar, Ketua MA Oemar Seno Adji pada Januari 1981 memerintahkan agar Sengkon dan Karta dibebaskan melalui PK. Kasus Sengkon dan Karta melahirkan terobosan hukum baru di Indonesia. Sejak itu pulalah hukum di Indonesia mengenal PK.
Korban UU ITE
Baiq Nuril Maknun bukanlah korban dari peradilan sesat, tapi melainkan salah satu korban, dari banyak korban yang tergilas UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE yang disyahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lahirnya UU nomor 11 tahun 2008 diera Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden. UU ITE dilahirkan dengan tujuan untuk melindungi warga Indonesia dari kejahatan didunia maya. Namun belakangan UU ITE yang direvisi tahun 2016 dinilai justru mengancam kebebasan warga untuk berbicara di Indonesia.
Sebagaimana yang tertera pada pasal (1) UU nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, mengartikan informasi elektronik tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta dan foto, tapi juga Elektronik Data Interchange (EDI), Surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, tele cofy, kode akses, simbol atau ferporasi yang memiliki arti atau dapat untuk dipahami.
Luasnya cakupan UU ITE yang memiliki pasal pasal yang penuh dengan multi tafsir, sehingga dijadikan sebagai alat saling adu dengan pasal pasal karet tentang pencemaran nama baik. Sementara devenisi pencemaran nama baik didalam UU ITE memiliki pengertian yang kabur.
Pasal tentang pencemaran nama baik dalam UU ITE akhirnya dijadikan perangkap untuk memenjarakan warga. Berdasarkan data yang dirilis oleh lembaga Southeast Asia of Fredom Expression Network (Saffenet) menyebutkan lebih 380 warga yang dikenai hukuman menggunakan UU ITE.
Prita Mulyani Sari, adalah korban pertama yang terlindas UU ITE, sejak UU ITE itu disyahkan. Hingga sampai saat ini keperkasaan UU ITE Dalam membungkam Hak bicara warga yang diatur didalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945, bagaikan tak terbendung. Oleh karena itu, untuk menghindari semakin banyaknya korban, maka pemerintah perlu untuk merevisi kembali UU ITE, terutama terhadap pasal pasal karet yang multi tafsir. Semoga!.
Pengirim: Wisnu AJ, Penulis adalah Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.