Rabu 17 Jul 2019 12:41 WIB

Ketika Guru Tinggal di Toilet Sekolah

Guru Nining yang tinggal di toilet sekolah adalah motret miris pendidik di negeri ini

Nining (44) guru honorer di  SD Negeri Karya buana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, terpaksa harus tinggal di toilet sekolah tempatnya mengajar karena kondisi ekonomi yang lemah, Senin (15/7).
Foto: Republika/Alkhaledi Kurnialam
Nining (44) guru honorer di SD Negeri Karya buana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, terpaksa harus tinggal di toilet sekolah tempatnya mengajar karena kondisi ekonomi yang lemah, Senin (15/7).

Seorang guru honorer di SD Negeri Karya Buana 03 di Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, tinggal satu bangunan dengan toilet sekolah, tempatnya mengajar, karena sempitnya kondisi perekonomian.

Dengan gaji hanya Rp 350 ribu per bulan dan suaminya Ebi (46) yang bekerja serabutan. Pihak sekolah yang awalnya keberatan, akhirnya memberi izin. Bahkan guru tersebut merasa beruntung karena mendapat tempat tinggal gratis.

Baca Juga

Ada dua ruang. Yang pertama, yaitu kamar toilet sekolah yang digunakan untuk dapur dan tempat salat. Sementara ruang kedua yang ada di samping toilet digunakan sebagai ruang tidur dan tempat usaha warung jajanan siswa.

Untuk ruang tidur dan warung jajanan, masing-masing sekiranya berukuran 3x3 meter yang hanya dibatasi dengan sekat kayu triplek tipis untuk menutupi ruang tidur. Modal jualan didapat dari bank keliling. Seperti kita tahu, bahwa pinjaman bank akan berbunga. Ada kelebihan yang harus dibayar. Dan itu adalah riba.

Ada yang salah dengan negeri ini. Hingga seorang guru merasa bersyukur tinggal di toilet sekolah, adalah sebuah persoalan yang harus segera dipecahkan. Siapapun menginginkan kehidupan yang layak. Kemudahan mengakses berbagai keperluan sehari-hari. Dan itu adalah ranah penguasa untuk mengelolanya.

Kondisi yang miris menimpa tenaga pengajar. Ini hanya salah satu kasus yang mencuat ke permukaan, hingga menjadi viral. Pada faktanya, banyak guru yang mengalami kehidupan sempit. Kebutuhan dasar sulit sekali tercukupi.

Berbeda di masa kejayaan Islam. Minat belajar sangat tinggi. Tidak hanya murid melimpah bagai cendawan di musim penghujan. Guru pun banyak dan kehidupan mereka sejahtera.

Syekh Najmuddin Al-Khabusyani Rahimahullah misalnya, yang menjadi guru di Madrasah al-Shalāhiyyah setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar (1 dinar hari ini setara dengan Rp 2,2 juta jadi setara Rp 110 juta).

Di samping itu juga ia mendapat 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari Sungai Nil. Ini terjadi pada masa Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi Rahimahullah.

Oleh sebab itu, hal ini perlu perubahan mendasar untuk lebih memperhatikan kondisi anak bangsa.

Minimnya perhatian pemerintah pada nasib guru, akan berdampak pada kualitas anak didik. Berharap kebaikan pada sebuah negara, tapi enggan mengelola sumber daya manusia (SDM) yang ada, selamanya tidak akan membuahkan hasil.

Pengirim: Lulu Nugroho, Cirebon

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement