“Hari ini, hari yang kau tunggu;
Bertambah satu tahun usiamu;
Bahagialah slalu”
Syair lagu selamat ulang tahun Jamrud dia atas, tak mesti di soal jika disuguhkan sebagai doa dan kado selebrasi kebahagiaan untuk menyambut Hari Lahir (Harlah) organisasi Mahla’ul Anwar (MA) yang ke-103 tahun pada 09 Agustus 2019. Dimana diperingati sebagai tanggal kelahiran Mathla’ul Anwar sekaligus sebagai titik awal dimulainya proses pengajaran di lingkungan lembaga pendidikan (madrasah) MA pada 09 Agustus 1916.
Sebagai organisasi keagamaan hingga kini, MA masih populer berjuang memajukan kesejahteraan ummat Islam, bangsa dan negara melalui pendidikan, dakwah dan kesejahteraan sosial bernafaskan Islam Ahlussunah wal-jama’ah dan berfalsafahkan Pancasila, sejak berdiri pada 1916 di Menes, Pandeglang Banten oleh Kyai Moh. Tb. Soleh, Kiayi H. E. Moh Yasin, Kyai Tegal, Kyai H. KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal, K.H. Abdul Mu’ti, K.H. Soleman Cibinglu, K.H. Daud, K.H. Rusydi, E. Danawi, K.H. Mustagfiri dan lainnya adalah para pemikir yang ide-ide nya sangat kontributif dalam mencerdaskan anak bangsa baik secara intelektual, sosial, politik maupun spiritual.
Salah satu tokoh penting dalam perjalanan MA, adalah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal yang lahir sekitar 1882-1943 di daerah Janaka, Jiput Kabupaten Pandeglang, alumnus santri Syekh Mohammad Nawawi Al-Bantani di Makkah al-Mukarrahmah, posisinya di MA sebagai “arsitek” dan konseptor dalam merancang bangun organisasi Mathla’ul Anwar (tempat terbitnya cahaya). Melalui ide-idenya yang ampuh dan moncer hingga kini masih berdiri kokoh lembaga pendidikan di Menes, Pandeglang Banten, tersebar di Indonesia mulai TK hingga tingkat perguruan.
Melalui filosofi “tempat terbitnya cahaya” yang dijadikan inspirasi dalam istilah Sayid Qutb (1980) dalam “Ma’alim fit Tarieq” (Petunjuk Jalan) bahwa Islam memiliki semangat revolusioner yang ampuh menjadi pijakan untuk mencapai kebahagiaan di dunia akhirat. Hal itu dapat terwujud melalui pertama, mengembalikan kesucian ajaran Islam yang terkontaminasi animisme yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat, kedua, Islam sebagai motivasi dan pemantik untuk membangkitkan semangat solidaritas patriotisme melawan ketidakadilan kolonial Belanda di Bumi Nusantara.
Quo Vadis Mathla’ul Anwar ?
Jika dilihat sejak kelahirannya (1916), MA yang kini berusia ke-103 tahun, ibarat seorang manusia yang telah mencapai fase senja bahkan melebihi batas-batas ketuaan. Akan tetapi syukur alhamdulilah masih memiliki ghirah untuk mengartikulasikan ajaran Islam agar menjadi tauladan laku lampah dalam menjalani kehidupan baik secara sosial, lisan (bi al-lisân), tulisan (bi al-kitâbah) dan perbuatan (bi al-hâl).
MA sebagai salah satu organisasi senior, idealnya saat ini tinggal memetik dan menikmati hasil perjuangan dari jerih payah para pendiri MA melakukan proses mencerdaskan dan memajukan kesejahteraan anak bangsa selama 103 tahun. Tetapi setiap masa ada orangnya, setiap orang berbeda tantangannya. MA di usia senjanya dihadapkan pada situasi yang semakin sulit. MA mesti gesit, kreatif, inovatif, terlebih ketatnya organisasi keagamaan dan sosial lainnya yang lebih lincah dan responsif dalam menjawab persoalan kehidupan publik dalam beragama dan berbangsa.
Melalui perayaan Harlah MA ke-103 tahun ini, ada baiknya dijadikan momentum untuk merefleksikan, merajut kohesivitas organisasi dan napak tilas upaya berkaca secara internal sambil menatap keluar sejaumana capaian yang sudah diraih. Apakah perjalanan MA sejak berdiri hingga saat ini sudah sesuai dengan cita-cita Khittah MA? Atau MA mengalami kegamangan. Padahal MA sebagai organisasi besar di masa lalu berperan cukup signifikan utamanya dalam bidang pendidikan, dakwah dan kesejahteraan sosial?
Maka sebagai upaya meningkatkan ritme kohesivitas organisasi MA kedepan, ada baiknya dalil Pierro Bourdieu (2015) dalam “teori modalitas” mendesak dihadirkan sebagai menu utama bekal asupan gizi untuk melangkah dimasa depan agar lebih segar melalui 4 (empat) sisi modalitas.
Pertama, modal sosial (social capital), MA yang kini memiliki jaringan kepengurusan di 30 Provinsi, Kabupaten/Kota di Indonesia sebenarnya memiliki SDM yang cukup jika diorganisir secara baik untuk dijadikan laboratorium penelitian menggali potensi agar melahirkan produk pemikiran yang inovatif dan kritis baik secara intelektual, sosial, politik, budaya dan spiritual. Sehingga jika ini lakukan dan dibarengi dengan tingkat publisitas literatur tentang organisasi MA, maka akan semakin tinggi popularitas dan daya tawarnya sebagaimana dilakukan oleh organisasi keagamaan lainnya yang dijadikan rujukan publik secara luas.
Kedua, modal politik (political capital), posisi MA sebagai organisasi kultural dan juga sebagai kekuatan politik idealnya dapat memfungsikan sisi artikulasi dan agregasi kepentingan melalui infrastruktur politiknya untuk melakukan check and balance of power terhadap suprastruktur politik legislatif dan eksekutif secara langsung disetiap perumusan, pelaksanaan kebijakan politik. Maka cita-cita dan bobot perjuangan organisasi MA lebih signifikan, pesan-pesan politik, sumbang saran yang diajukan MA bukan tidak mungkin dijadikan arah kebijakan pemangku kekuasaan di tingkat daerah dan nasional.
Ketiga, modal ekonomi (economical capital). Harus diakui, walaupun bukan organisasi profit, tetapi MA sebagai “holding organization” dimasa depan dapat diarahkan menyentuh program ekonomi kratif melalui jaringan yang dimiliki hingga kepelosok negeri yang ditopang administrasi yang rapih, modern dan SDM yang ada menjadi potensi strategis jika organisir untuk melahirkan produk ide kreatif, inovatif menciptakan “amal usaha dan pasar baru” sehingga hikmahnya dapat mempercepat kesejahteran organisasi dan publik. Sekedar contoh seperti pernah digagas Rhenal Kasali (2010) dalam “Disruption” dan “rumah perubahannya” mampu mengkader anak-anak muda melahirkan ide kreatif dan inovatif membuat aplikasi kitabisa.com dan aplikasi layanan jasa, transaksi jual beli lainnya melalui sharing economy dapat membuka peluang kerja dan mendatangkan pundi-pundi rupiah.
Keempat, modal budaya (cultural capital). MA sebagai organisasi kultural yang egaliter dan kekeluargaan. Melalui para pendirinya seperti KH. Mas Abdurrahman sebagai komunikator politik dengan kredibilitas nya mampu menjadikan “agama” (organisasi keagamaan) sebagai inspirasi, perekat dan publik figur tauladan sosial dan politik baik di internal dan masyarakat luas dimana keistiqomahan, reputasi organisasi dan personal ketokohannya mampu menjawab tantangan zaman melalui keampuhan ide-idenya yang visioner, berfikir besar dapat memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara melalui jalur gerakan kultural pendidikan, dakwah dan sosial.
Melalui suguhan teori modalitas di atas, diharapkan menjadi pembangkit obrolan yang menarik dan merangsang bagi pucuk pimpinan dan pengurus organisasi MA saat ini untuk membuat capain prestasi yang gemilang dan memperkuat soliditas upaya penyegaran pemahaman yang termaktub pada visi, misi AD/ART dan Khittah MA 1916 sebagai “tempat terbitnya cahaya” agar mampu bersinar baik siang dan malam dimana cahayanya dapat menumbuhkan, menyuburkan tunas-tunas baru agar kelak dapat kembali memanen kebaikan yang bermanfaat bagi organisasi, utamanya untuk kemajuan bangsa dan negara. Semoga!
Hadaanallah waiyakum ila shiratim mustaqim,
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh
Pengirim: Iin Solihin, Alumnus Magister Komunikasi Politik, FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta