Bulan Dzulhijjah 1440 H segera usai, dan bulan Muharram 1441 H segera menjelang. Atas izin Allah SWT, umat Islam akan berkesempatan untuk berjumpa dengan waktu-waktu mustajab-Nya di bulan haram, bulan mulia.
Muharram menjadi salah satu bulan haram, sebagaimana firman Allah SWT: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.” (QS. At-Taubah: 36).
Kemudian dari Abu Bakrah ra dari Nabi SAW bersabda: “Dalam satu tahun ada 12 bulan, di antaranya ada 4 bulan haram, 3 bulan secara berurutan adalah Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajabnya Mudhor yang berada di antara Jumada dan Sya’ban”. (HR. Bukhari).
Pada semua bulan haram tersebut; perbuatan maksiat dosanya akan menjadi semakin berat daripada dosa yang dilakukan pada selain bulan tersebut. Karena itu, hendaklah di antara aktivitas yang dapat kita utamakan di bulan haram yakni menyuburkan taman surga. Taman surga yang dimaksud di sini adalah majelis-majelis ilmu atau halaqoh-halaqoh. Rasulullah SAW bersabda: “'Jika kalian melewati taman surga maka berhentilah.' Mereka bertanya, 'Apakah taman surga itu?' Beliau menjawab, 'Halaqoh dzikir (majelis ilmu).' (HR Tirmidzi)”
Beliau SAW juga bersabda: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allah, mereka membacakan kitabullah dan mempelajarinya, kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya. Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.” (HR Muslim).
Pun sabda beliau SAW: “Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya bukti keridhoannya pada penuntut ilmu, dan sesungguhnya orang yang alim akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan bumi serta ikan-ikan di lautan.” (HR. Abu Daud).
Karena itu, sungguh menyedihkan ketika beberapa waktu lalu diberitakan bahwa halaqoh dianggap aktivitas radikal, bahkan sarang teroris. Di dunia maya, saat itu beredar gambar sampul dan isi modul Pencegahan Terorisme Di Indonesia yang diterbitkan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
Di dalam modul tersebut dicantumkan bahwa penyebaran ide-ide radikal dapat dilakukan di antaranya melalui pengajian, pertemuan halaqoh, dan lain-lain. Pola ini disebut sebagai pola penyebaran lama, yakni yang dilakukan melalui halaqoh dan pengajian dengan duduk melingkar. Yang semuanya itu adalah pertemuan untuk mengaji.
Coba kita bayangkan, apa mungkin istilah yang sudah akrab di telinga, bahkan sudah rutin dilakukan, mendadak disebut forum penyebaran ide radikal dan terorisme? Subhanallah. Benar-benar menyesakkan dada mendengar berita tak mengenakan ini.
Memang benar, belakangan ini kita menyaksikan fenomena memprihatinkan akan maraknya Islamophobia di tanah air. Bahkan sebagian muslim mungkin tanpa sadar mengidap sindrom Islamophobia lalu memunculkan rasa takut dan benci pada ajaran Islam. Sikap Islamophobia ini berpotensi memunculkan sikap diskriminatif dan rasisme pada saudara sesama muslim sendiri.
Namun Allah SWT selalu punya cara untuk menyampaikan urusan-Nya. Istilah “halaqoh” pun mendadak banyak yang mencari maknanya. Dari sejumlah sumber, halaqoh dimaknai sebagai tradisi diskusi yang dilakukan masyarakat pesantren, yang pesertanya duduk membentuk lingkaran. Halaqoh sendiri memang bermakna “lingkaran”.
Tradisi halaqoh ini sebenarnya bersumber dari Rasulullah SAW. Dicontohkan ketika melakukan Bai`at `Aqabah Rasulullah SAW duduk dikelilingi oleh para muslim awal dari Madinah (Yatsrib). Tradisi tersebut kemudian berkembang sebagai pengajaran di masjid-masjid di dunia Islam awal, dengan pengajarnya adalah para sahabat yang dikirim oleh Rasulullah SAW. Para tabi`in meneruskan tradisi ini di masjid-masjid, hingga kita kenal adanya halaqoh Imam Hasan al-Bashri, halaqoh Imam asy-Syafi`i, dan lain-lain.
Tradisi halaqoh juga pernah terkenal di Haramain (Mekah dan Madinah) pada abad ke-19 sehingga para syaikh dan guru besar mumpuni di kalangan Islam, dikenal memiliki halaqah di sana dengan sejumlah para murid, di antaranya Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, Syaikh Alwi al-Maliki, dan lain-lain. Meneruskan tradisi ini, para ulama dan kyai di Nusantara membuat halaqah pengajian dan pengajaran di tempat masing-masing. Forum halaqoh mereka diikuti murid-murid tertentu, yang kemudian berkembang menjadi pesantren.
Halaqoh adalah pilar dari sebuah aktivitas dakwah. Halaqoh juga ibarat satu motor dari mesin perubahan masyarakat. Halaqoh adalah tulang punggung pembinaan umat Islam. Rasulullah SAW beserta para generasi pendahulu Islam yang telah menegakkan peradaban ini begitu merindu pada halaqoh. Maka selayaknya, kita pun meneladani mereka dan menumbuhkan kecintaan pada halaqoh. Karena memang, halaqoh adalah taman surga yang semestinya kita suburkan.
Pengirim: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si, Koordinator LENTERA