Wacana penghapusan materi perang dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam oleh Kementerian Agama (Kemenag) sempat menjadi polemik di dunia pendidikan. Mengutip pernyataan Direktur Kurikulum Sarana Prasarana Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kementerian Agama, Ahmad Umar, bahwa hal ini dilakukan agar Islam tidak lagi dianggap sebagai agama yang radikal. Selain itu pemerintah ingin mendidik siswa menjadi orang-orang yang memiliki toleransi tinggi kepada penganut agama-agama lainnya (Republika.co.id, 13/9).
Meskipun pernyataan ini telah direvisi oleh Kemenag yang menyatakan bahwa materi perang bukan dihapus, namun tidak dijadikan tonggak sejarah. Yang ditonjolkan nantinya adalah perjuangan-perjuangan Rasulullah dalam membawa Islam yang damai, Islam yang menyejukkan, Islam yang tidak keras (Republika.co.id, 16/9).
Pertama, pandangan bahwa Islam sebagai agama radikal nyatanya muncul dan dikembangkan setelah Amerika Serikat (AS) menyerukan kampanye global melawan terorisme 11/9. Tidak lain, pandangan tersebut adalah bentuk fobia AS terhadap ajaran Islam beserta pengikutnya. Maka, secara otomatis label teroris dan radikal (dalam arti negatif) kemudian tersemat di ‘dahi’ kaum muslimin.
Tak disangka, AS melalui Rand Corporation kemudian memberikan syarat-syarat agar label itu terlepas dari diri seorang muslim, salah satunya melalui program deradikalisasi yang digencarkan di tiap negeri berpenduduk mayoritas Islam, termasuk dalam bidang pendidikan.
Sedangkan Islam sendiri tidak mengenal istilah radikal yang hangat diperbincangkan oleh khalayak. Islam hanya mengajarkan agar pemeluknya menerima islam secara lahir batin dengan penuh kesadaran.
Penerimaan itulah yang perlu dibuktikan dengan ketaatan secara menyeluruh terhadap seluruh perintah dan larangan dari Allah, Sang Pencipta dan Pengatur. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S Al-Baqarah ayat 208).
Kedua, tentang menghargai penganut agama lain. Islam sejak pertama kali diemban oleh Rasulullah Muhammad bahkan telah memberikan perhatian pada hal ini. Islam terbukti menghargai keberadaan penganut agama lain bahkan berlaku adil pada mereka.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247).
Hal ini berlanjut hingga masa kekuasaan Utsmaniyah. Tertulis dalam The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” (Arnold, 1896). Maka, tidak mampu dielakkan lagi bahwa Islam sangat menghargai keberagaman agama.
Secara keseluruhan, selayaknya kita tetap meninjau keputusan pemerintah yang tidak akan menonjolkan materi perang dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam mulai tahun depan. Kesan yang tampak adalah umat Islam selalu dibayangi oleh kekhawatiran stereotip tentang keberadaan Islam sebagai agama radikal dan keras.
Secara psikologis, respon yang ditampilkan pemerintah, diwakili Kemenag bahkan mungkin kaum muslimin secara umum memang wajar jika dilihat dari keinginan melepaskan label “keras” dari pihak di luar Islam yang membuat umat Islam merasa terpojok dan akhirnya reaktif menanggapinya.
Namun, jika label yang disematkan pada Islam dan kaum muslim ini datang dari orang-orang di luar Islam yang tidak mengerti seluk beluk ajaran Islam, mengapa kita menjadi risau? Layaknya tolok ukur setiap perbuatan kita hanyalah keridhoan Allah semata, bukan yang lain.
Pengirim: Nurintan Sri Utami, S.Psi