Jumat 11 Oct 2019 14:03 WIB

Ada Apa Dengan Film SIN?

Film SIN bukan film pertama dengan tema kontroversial di Tanah Air.

Bryan Domani dalam film SIN.
Foto: Tangkapan layar YouTube Falcon Pictures
Bryan Domani dalam film SIN.

Tontonan film seperti action, komedi, drama, dan lainnya tak sedikit dijadikan tuntunan oleh sebagian masyarakat, terlebih bagi anak remaja yang selalu ingin mencoba sesuatu hal yang baru. Tuntunan tersebut dapat berupa cara berpakaian, bertingkah laku dan berpikir. Terlepas film tersebut menimbulkan kontroversi atau tidak di tengah masyarakat.

Sebagaimana film drama-romantis buatan Indonesia yang berjudul SIN. Tema film ini kontroversial karena bercerita tetang kakak beradik yang saling jatuh cinta. SIN adalah film yang diadaptasi dari novel laris tahun 2017 dengan judul yang sama. Berharap mendapat sukses yang sama. Film ini pun rilis di bioskop-bioskop Indonesia pada hari kamis, tanggal 10 oktober 2019.

Film SIN tentu saja bukan merupakan film pertama yang kontroversial di Tanah Air. Karena sesungguhnya dalam film komersial, orientasi pembuatannya adalah bisnis dan mengejar keuntungan. Dalam klasifikasi ini, film memang dijadikan sebagai komoditas industrialisasi. Sehingga, film dibuat sedemikian rupa agar memiliki nilai jual dan menarik untuk disimak oleh berbagai lapisan khalayak. 

Selain itu, film merupakan salah satu alat untuk mempropagandakan nilai-nilai tertentu, seperti gaya hidup. Urusan bagaimana tanggapan masyarakat nantinya, itu merupakan persoalan belakangan. Karena dalam sistem kapitalisme standar perilaku sebatas kemaslahatan yang bersifat relatif dan kondisional.

Tak hanya itu, film tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan akhlak generasi yang kian minus. Mengingat pergaulan remaja saat ini yang semakin bebas dan tak jarang menabrak norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat, terlebih norma agama seakan jauh dari pedoman hidup.

Sementara itu, dalam tinjauan syariat, pembuatan film seharusnya memperhatikan hal-hal seperti isi cerita yang tidak bertentangan dengan norma agama, tidak adanya adegan berduaan padahal keduanya bukan mahram, tidak mengumbar aurat dan aturan lainnya. Sehingga film tersebut dapat menjadi sarana dakwah karena tidak hanya sebagai tontonan, tetapi juga tuntunan karena sesuai denga koridor syariah.

Karena itu, perlu adanya sistem yang dapat menjamin penjagaan akhlak generasi. Adapun hal tersebut, yaitu: Pertama, ketakwaan individu yang mendorongnya untuk terikat kepada hukum syara’. Kedua, kontrol masyarakat, seperti adanya budaya amar makruf nahi mungkar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, negara memberi sanksi kepada mereka yang melanggar syariat. 

Oleh karena itu, pembuatan film yang sesuai tuntunan sulit direalisasikan, jika orientasi pembuatannya hanya berupa bisnis dan mengejar keuntungan semata. Karena itu, untuk mewujudkan film yang tak bertentangan dengan koridor-Nya perlu adanya pemahaman yang benar bagi mereka yang membuat film, sehingga benar-benar tontonan tersebut dapat dijadikan tuntunan yang benar. Wallahu a’lam.

Pengirim: Fitri Suryani, S.Pd, Guru Asal Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement