Rabu 23 Oct 2019 16:31 WIB

Nasib Nurul Ghufron dalam UU Baru KPK

Mengacu pada UU baru KPK maka usai pimpinan KPK minimal 50 tahun

Calon pimpinan KPK Nurul Ghufron menjalani uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (11/9/2019) malam.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Calon pimpinan KPK Nurul Ghufron menjalani uji kepatutan dan kelayakan di ruang rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu (11/9/2019) malam.

Persoalan salah ketik (clerical error) dalam pembuatan Peraturan dan Perundang undangan bukan merupakan hal yang luar biasa, tapi melainkan sudah merupakan kebiasaan. Sehingga persoalan salah ketik dalam pembuatan peraturan dan perundang undangan menjadi hal yang lumrah, sehingga tidak perlu untuk dipersoalkan.

Kendatipun persoalan salah ketik dapat membuat cacatnya hukum, disamping dapat merugikan bagi orang yang memerlukan peraturan dan perundang undangan tersebut, tidak menjadi persoalan yang urgent bagi si pembuat peraturan dan perundang undangan.

Ketika persoalan hukum muncul dalam kasus Yayasan Surat Perintah Sebelas Maret (Super Semar) milik mantan Presiden Soeharto memasuki ranah hukum, karena digugat oleh negara.

Kasus Yayasan Super Semar menjalani persidangan, mulai dari pengadilan rendah, kemudian berlanjut ke pengadilan tinggi, terakhir sampai ke Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2010. MA memutuskan bahwa Yayasan Super Semar dan Soeharto selaku pemilik Yayasan dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 139,2 miliar.

Namun dalam salinan amar putusan yang dikeluarkan oleh MA tertulis Rp 139,2 juta. Persoalan salah ketik didalam amar putusan MA itupun melahirkan polemik, antara Jaksa penuntut umum, dengan keluarga Cendana selaku pemilik Yayasan, beserta MA. Belakangan MA melakukan revisi atas salah ketik dalam amar putusannya, setelah pihak Kejaksaan mengajukan keberatannya. Yayasan Super Semar harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 139,2 miliar.

Typo atau salah ketik juga pernah terjadi didalam pembuatan Undang Undang (UU) nomor : 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRRI).

Pada Pasal 7 ayat (2)  butir "G" tertulis " Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki persyaratan sebagai berikut ".

 " Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana ".

Bunyi dari Pasal 7 ayat (2) dalam butir "G" seharusnya " Tidak sedang sebagai terpidana " , bukan " Tidak pernah sebagai terpidana ". Kemudian belakangan bunyi dari Pasal 7 ayat (2) butir "G" yang salah ketik diperbaiki kembali.

Masalah persoalan salah ketik dalam pembuatan peraturan dan perundang undangan tidak pernah berhenti. Malah menjadi trent dalam setiap pembuatan peraturan dan per undang undangan.

Yang paling anyar persoalan salah ketik terjadi pada Revisi UU nomor : 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang telah disahkan menjadi UU nomor : 19 Tahun 2019 Tentang KPK.

UU KPK ini telah diberlakukan pada tanggal 17 Oktober 2019, kendatipun bahwa UU KPK ini belum ditanda tangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun sesuai dengan peraturan yang ada, UU dapat diberlakukan setelah 30 hari sejak disahkan sebagai UU, walaupun tidak ditanda tangani oleh Kepala Negara.

Didalam UU KPK yang baru dari hasil revisi pada Pasal 29 hurup "e" menyebutkan " Untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :  berusia paling rendah 50 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun, pada proses pemilihan".

Kesalahan ketik dalam Pasal 29 hurup e adalah terdapat perbedaan angka dengan tulisan hurup. Pada angka disebutkan 50, sementara pada hurup ditulis empat puluh.

Akibat adanya salah ketik didalam UU KPK yang baru, sehingga menimbulkan kerancuan, pihak istana terpaksa mengembalikan naskah UU KPK itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonedia (DPRRI) selaku pembuat UU, agar diperbaiki.

Menurut Masinton Pasaribu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga merupakan anggota Panitia Kerja (Panja) revisi UU KPK di komisi III DPRRI menyebutkan, revisi UU KPK yang baru dimana didalamnya terdapat salah ketik tentang usia pimpinan KPK telah diperbaiki. Naskah UU KPK yang telah diperbaiki sudah dikirimkan kembali kepada Kementerian Sekretaris Negara. Masinton menjelaskan dalam berkas perbaikan usia minimal pimpinan KPK adalah 50 tahun.

 Nasib Nurul Ghufron

Jika mengacu kepada Pasal 29 huruf e UU KPK yang baru hasil revisi dari UU nomor: 30 tahun 2002 tentang KPK, tentu menimbulkan pertanyaan terhadap nasib Nurul Ghufron salah satu pimpinan KPK terpilih tahun 2019. 

Usia Nurul Ghufron ketika terpilih sebagai salah satu pimpinan KPK oleh Panitia Seleksi (Pansel) pimpinan KPK adalah 45 tahun. Sementara UU KPK yang baru menyebutkan syarat pimpinan KPK berusia serendah rendahnya 50 tahun. Dengan mengacu kepada UU KPK yang baru hasil revisi, Nurul Ghufron terancam untuk dapat dilantik, karena usia Nurul Ghufron tidak memenuhi persyaratan sebagai pimpinan KPK.

Pelantikan Nurul Ghufron sebagai salah satu pimpinan KPK, tentu menggunakan UU KPK yang baru, apa lagi disebutkan UU KPK yang baru hasil dari revisi UU nomor : 30 tahun 2002 tentang KPK tidak berlaku surut.

Jika pelantikan Nurul Ghufron sebagai salah satu pimpinan KPK dipaksakan, tentu akan berpotensi cacat hukum. Karena pelantikan pimpinan KPK Priode 2019 - 2023 yang akan dilantik pada Desember 2019 haruslah didasari oleh UU KPK yang baru. Diluar dari UU KPK yang baru  pelantikan pimpinan KPK dianggap tidak sah, karena tidak memenuhi syarat.

Tentu pelantikan Nurul Ghufron yang cacat hukum, berakibat fatal bagi Nurul Ghufron, karena Nurul Ghufron tidak berhak untuk memperoleh kewenangan sebagai pimpinan KPK, termasuk untuk menerima gaji, tunjangan dan sebagainya yang menjadi hak pimpinan KPK. Apa bila semua ini diberikan kepada Nurul Ghufron dapat diindikasikan sebagai korupsi. Persoalannya akan menjadi " Jeruk makan jeruk ".

Bagaimana nantinya KPK mempertanggungjawabkan pengeluaran dana yang diberikan kepada Nurul Ghufron sebagai pimpinan KPK yang cacat hukum. Terkecuali jika hukum di negeri ini sudah menjadi Hukum " Abal Abal ".

Ketergesaan

Wajar jika banyak pihak menuduh pembahasan dan pengesahan revisi UU KPK yang dilakukan oleh DPRRI merupakan ketergesaan. Pembahasan revisi UU KPK hanya dilakukan sekitar 12 hari,  ada dugaan pengesahan revisi UU KPK adalah dalam upaya untuk melemahkan KPK. Apa lagi ditemui adanya pasal pasal yang melemahkan lembaga anti rasuah itu.

Namun disisi lain, pengesahan revisi UU KPK itu mengambil korban dengan terancamnya Nurul Ghufron untuk dilantik menjadi salah satu pimpinan KPK, sementara Nurul Ghufron telah lolos dari seleksi yang dilakukan oleh pansel, bahkan Nurul Ghufron juga sudah menjalani fit and profertes di hadapan anggota DPRRI.

Revisi UU KPK dari UU nomor : 30 tahun 2002 tentang KPK dan kini menjadi UU nomor : 19 tahun 2019 sudah diberlakukan walaupun belum ditandatangani oleh Presiden Jokowi akhirnya menuai polemik.

Sikap Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi yang telah didesak oleh masyarakat melalui unjuk rasa untuk mengeluarkan Peraturan Presiden Pengganti Undang Undang (Perpu), nampaknya masih ragu ragu. Hal ini tidak lain disebabkan adanya desakan dari Partai Politik (Parpol) koalisi pendukung Jokowi, agar Presiden tidak mengeluarkan Perpu.

Bagaikan makan buah simalakama, Jokowi nampaknya sangat berhati hati dalam pengeluaran Perpu ini. Jika Perpu dikeluarkan, maka Jokowi dicap sebagai Presiden yang tidak menghargai DPR dan Parpol pendukungnya. Sementara disisi lain jika Jokowi tidak mengeluarkan Perpu, maka Rakyat menuduh Jokowi mendukung terhadap pelemahan KPK.

Lantas timbul pertanyaan?, bagai mana nasib KPK dan Nurul Ghufron dalam UU KPK yang baru?. Hanya waktulah yang dapat untuk menjawabnya. Semoga !

Pengirim: Wisnu AJ, Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement