Terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Mendikbud cukup mengejutkan banyak pihak terutama kalangan pendidik islam. Latar belakang pendidikan, pekerjaan dan keluarga membuat banyak pihak mempertanyakan masa depan pendidikan di Indonesia.
Beberapa tahun belakangan, dunia pendidikan masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Salah satunya adalah angka kriminalitas remaja yang semakin meningkat dari tahun ke tahun baik secara kuantitas maupun kualitas. Kita tentu belum lupa, kasus Audrey, siswi SMP di Pontianak yang sempat viral di medsos karena mengalami perundungan dan penganiayaan dari siswi SMU pada bulan April 2019.
Kemudian kasus pelajar yang menjadi mucikari bagi teman-temannya di Bengkulu pada Bulan Agustus 2019. Pelajar tersebut menjual teman-temannya hanya dengan imbalan uang ratusan hingga 1 juta rupiah saja.
Dunia pendidikan tahun ini juga gempar dengan ratusan pelajar yang terpapar LGBT di Tulungagung (Agustus 2019) dan Mojokerto (September 2019). Berbagai persoalan ini tentu menyisakan keresahan berbagai pihak terutama orang tua dan guru.
Di saat kita berharap solusi berbagai krisis pelajar ini, Presiden Jokowi mengungkapkan telah memberikan arahan kepada Mendikbud yang baru agar membuat terobosan baru untuk bisa mencetak lulusan siap kerja. Latar belakang Nadiem yang sukses membawa gojek sebagai decacorn Asia Tenggara nampaknya menjadi alasan utama pemilihan pengusaha muda ini menjadi Mendikbud.
Di tengah krisis perilaku&kriminalitas remaja yang semakin meningkat, harusnya solusi perbaikan kepribadian siswa menjadi prioritas dunia pendidikan. Mengutip pernyataan Adian Husaini di opini harian umum republika, teknologi bisa dibeli tapi budi pekerti dan akhlak mau dicari kemana?
Sebagai seorang Muslim, kita meyakini agama mampu menjadi benteng mendasar pelajar agar tidak terjerumus pada kriminalitas. Pelajar akan bersikap dan berperilaku yang benar karena didasari keimanan dan ketaatan kepada Alloh. Agama ditempatkan sebagai pelajaran yang punya "ruh" kembali. Bukan sekedar ilmu yang dihafalkan agar lulus ujian tetapi ilmu yang akan mendorong kepada amal. Materi agama yang diajarkan juga perlu penyegaran agar tidak monoton dan membosankan. Guru perlu membuat terobosan baru agar metode belajar agama kreatif dan menyenangkan.
Hal kedua yang kita soroti dalam dunia pendidikan adalah gencarnya program deradikalisasi di kalangan pelajar. Sikap radikal sebenarnya tidak terkait dengan agama maupun ras tertentu. Tetapi sekarang seolah program deradikalisasi ini lekat pada muslim saja. Rohis yang merupakan organisasi keislaman di sekolah dicurigai sebagai tempat bersemainya bibit-bibit radikalisme.
Akhirnya yang ada, program ini justru menumbuhkan islamophobia dimana siswa menjadi takut pada agamanya. Orang tuapun juga menjadi takut dan mengawasi bahkan membatasi kajian keislaman anaknya. Penguatan pemahaman agama yang diharapkan mampu menangkal kriminalitas remaja akhirnya menjadi semakin jauh karena ketakutan dengan program deradikalisasi ini.
Kita tentu berharap akan ada perbaikan fundamental di dunia pendidikan mendatang. Agama islam yang dianut oleh mayoritas pelajar negeri ini akan ditempatkan sebagai solusi utama untuk membentengi pelajar, bukan ditempatkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Agama akan diajarkan sebagai asas pembentukan budi pekerti dan akhlak siswa. Siswa akan mengamalkan ajaran agamanya karena dorongan akidahnya sebagai wujud ketaatan total kepada Alloh.
Pengirim: Wahyu Utami, S.Pd, Guru Khoiru Ummah Bantul Yogyakarta