Cinta itu berkah dan rahmat. Berkah karena dengannya manusia memiliki rasa saling menyayangi, berempati, dan saling peduli. Rahmat karena ia naluri yang Allah berikan pada setiap insan. Tatkala ia digunakan untuk ketaatan, maka mewujudkan maslahat dan selamat. Namun, ketika ia digunakan untuk kemaksiatan, maka hanya akan mendatangkan mudharat dan laknat. Begitulah rasa cinta. Bisa berbuah pahala, namun juga berpotensi menabur dosa.
Cinta hakikatnya adalah Allah dan RasulNya. Sebab, kecintaaan kepada Allah dan RasulNya akan menghantarkan manusia pada jalan kebenaran. Saat seorang hamba mengedepankan cintanya kepada Allah dan RasulNya, sejatinya ia telah berjalan menuju Surga. Sebab, kecintaaannya kepada Allah dan RasulNya mampu mencegahnya berbuat mungkar. Tentu saja ini bukan sembarang cinta. Yang hanya terucap dari lisan, tapi nihil dalam perbuatan.
Cinta itu mencinta tanpa lelah. Cinta itu membutuhkan komitmen ketaatan. Cinta Allah dan RasulNya wajib diutamakan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang berbunyi: “Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS. Ali Imron: 31).
Ayat ini menjelaskan bahwa cinta kepada Allah harus menjadi derajat cinta paling tinggi di hati kaum mukminin. Ayat ini juga mengandung makna bahwa kita diwajibkan mengikuti Nabi Shallahu alaihi wa Sallam. Mengikuti seluruh syariat yang dibawanya. Mulai dari lisannya, perbuatannya, bahkan diamnya Nabi wajib diteladani. Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah akan mencintai kita manakala kita meneladani Nabi Shallahu alaihi wa Sallam.
Diantara bentuk cinta itu adalah memaknai Maulid Nabi Shallahu alahi wa Sallam dengan sebenar-benarnya. Bukan sekadar bersalawat atau menyebut namanya dalam doa, tapi juga mengikuti seluruh petunjuk risalahnya.
Rasulullah mengajarkan bagaimana kesungguhan beribadah kepada Allah. Meski beliau kekasih Allah, tak serta merta membuatnya lembek dalam beribadah. Bahkan kaki beliau sampai bengkak saat salat karena banyaknya taubat dan istighfar yang dilakukannya.
Rasulullah mengajarkan kepemimpinan luhur dengan mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar dalam satu ikatan akidah Islam yang kokoh. Rasulullah menyemat pesan hijrahnya bahwa Islam akan tegak bersama orang-orang yang ikhlas dan rela berkorban. Rasulullah selalu berikhtiar dalam memenangkan agama Allah. Diantaranya beliau sering terlibat dalam peperangan dengan orang-orang kafir.
Rasulullah tak hanya memberi teladan sebagai individu, berkeluarga, dan bersosial semata. Namun, beliau juga mengajarkan berpolitik dan bernegara sesuai tuntunan Islam. Rasulullah memberi keteladanan tentang keberagaman tanpa menyalahi syariat Islam. Hal itu tercermin dari isi piagam Madinah. Menyatu tanpa mencampuradukkan ajaran Islam dengan selainnya.
Sebagai kepala negara di Madinah, Rasulullah menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Hal itu tertuang nyata di dalam Shahîfah atau Watsîqah al-Madînah (Piagam Madinah): “Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan kepada Muhammad saw…Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali (keputusan)-nya adalah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw.” (Ibnu Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/503-504).
Memperingati Maulid Nabi saw memang seharusnya dimaknai secara mendalam. Agar peringatan Maulid tak sekadar seremonial tahunan yang kosong makna. Mencinta Nabi sudah seharusnya mencintai seluruh syariat yang dibawanya. Tidak pilah pilih sekehendak hati. Tak ada dikotomi dalam meneladani Nabi saw. Saat salawat mengingatnya, saat menjalani kehidupan kita melalaikan sebagian syariatNya.
Mari renungkan sabda Nabi saw berikut ini: “…Sungguh siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang pada Sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada sunnah itu dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham….” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
Pengirim: Chusnatul Jannah, Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban