Jagat Twitter di Indonesia beberapa waktu yang lalu ramai. Guru BK menjadi hal yang diperbincangkan. Mayoritas bernada negatif. Berawal dari hujatan seseorang terhadap guru BK-nya semasa SMA yang memberi label negatif padanya, tapi akhirnya ia berhasil membuktikan bahwa label yang disematkan guru BK-nya itu keliru.
Sah saja dilakukan, tapi di saat yang sama ia juga telah memancing hujatan orang-orang terhadap guru BK, bahkan lebih luas lagi hujatan terhadap profesi guru BK secara umum. Akhirnya terjadi generalisasi berlebihan yang keliru terhadap profesi guru BK, seolah semua guru BK adalah tukang label dan tukang menghakimi siswa.
Profesi guru BK memang sering disalahpahami. Sering dianggap polisi sekolah, tukang hukum, tukang marah, dan lain sebagainya. Mungkin tak banyak yang tahu jika sesungguhnya tak semua guru BK di sekolah memiliki latar pendidikan BK.
Sedikit saya ceritakan pengalaman pribadi mengenai realita ini. Zaman saya SMA saja dari beberapa orang guru BK ternyata ada guru BK yang latar pendidikannya Ekonomi, Biologi, dan Kimia. Saat saya praktik lapangan juga ada guru BK yang latar pendidikannya Teknologi Pendidikan.
Saat saya mendampingi kegiatan pengabdian masyarakat ada guru BK yang berlatar pendidikan Fisika, juga saat mendampingi dosen saya ke suatu daerah ada guru BK yang berlatar keilmuan Olahraga. Kita dapat membayangkan, amat mungkin jika guru BK yang tak berlatar BK tersebut melakukan kegiatan-kegiatan malapraktik dalam menunaikan layanan-layanannya yang akhirnya bukan malah membantu siswa melainkan malah menzalimi siswa. Akibatnya, terbawa buruk juga kesan yang melekat pada guru BK asli yang selalu berupaya menghadirkan layanan BK yang sebaik-baiknya.
Analogi sederhananya seperti ini, dokter bedah yang asli lulusan spesialis bedah bisa saja suatu waktu melakukan kekeliruan dalam praktiknya. Apalagi seseorang yang mengklaim diri sebagai spesialis bedah padahal ia hanyalah seorang lulusan manajemen rumah sakit, tentu makin besar lagi peluang untuk banyak kekeliruan dalam praktiknya.
Demikian juga guru BK, yang lulusan BK mungkin saja melakukan kekeliruan, apalagi mereka yang bukan berlatar BK, kekeliruan dapat mendominasi layanan BK yang diberikan. Guru BK jadi-jadian itu mengerikan.
Mengenal BK
Mari kita mulai dari definisi. BK itu singkatan dari Bimbingan dan Konseling, perlu diperhatikan kata “dan” pada kepanjangan BK tersebut. “Dan” di sana menekankan bahwa tidak setiap bimbingan memerlukan konseling.
Saya kutipkan definisi BK yang otoritatif dari dua orang guru saya. Bimbingan menurut Prof Sunaryo Kartadinata adalah upaya bantuan agar individu berkembang secara optimal. Optimal berarti individu dapat berkembang sesuai keunikan potensi yang dimilikinya.
Dimensi dari layanan bimbingan ini ialah preventif dan pengembangan. Misalnya, Bimbingan pengelolaan stres menjelang Ujian Nasional, bimbingan pra-nikah, bimbingan keterampilan pengelolaan emosi, bimbingan pemilihan karier, bimbingan untuk mengetahui gaya belajar.
Berikutnya konseling, Berdimensi kuratif atau penyembuhan. Almarhum Prof Rochman Natawijaya mendefinisikannya sebagai hubungan timbal balik antara konselor dengan konseli di mana konselor membantu konseli untuk mencapai pemahaman mengenai dirinya dalam kaitannya dengan masalah yang sedang dihadapinya. Konselor di sini ialah guru BK di sekolah dan konseli itu ialah klien atau siswa.
Tak jarang ada siswa yang mengalami kecemasan berlebihan, kesedihan yang berlarut-larut, hubungan sosial yang buruk, dan lain sebagainya. Nah, di sini guru BK membantunya melalui konseling dengan ragam keterampilan konseling. Ada yang dengan Cognitive Behaviour Therapy, Person Centered Therapy, Solution Focused Behaviour Therapy, dan lain sebagainya.
Bimbingan berupaya membawa individu dari zona netral ke arah yang lebih positif. Sedangkan konseling berupaya membawa individu dari zona negatif ke zona netral, sebelum akhirnya distimulasi agar dapat juga masuk ke zona positif. Guru BK yang memiliki kacamata pemikiran BK dapat secara terampil mengenali mana yang merupakan masalah dan mana yang merupakan gejala masalah.
Contohnya kasus siswa terlambat. Terlambat dalam pandangan awam memang merupakan masalah, tapi dalam perspektif BK ia hanyalah gejala dari adanya masalah.
Mungkin manajemen waktu siswa yang buruk, mungkin siswa tersebut sedang ada masalah dengan keluarga, mungkin siswa tersebut kesulitan ekonomi sehingga sebelum ke sekolah mesti berjualan dulu di pasar. Jika akar masalahnya berbeda, tentu penanganannya berbeda.
Analogi sederhananya, jika seseorang menderita pusing tak mungkin tiba-tiba ia diberi obat sakit kepala. Cari tahu dulu penyebab pusing yang terjadi pada dirinya, jika pusingnya itu karena terbentur tembok maka tentu obatnya bukan obat sakit kepala, jika pusingnya karena belum makan beberapa hari maka tentu obatnya bukan obat sakit kepala.
Jadi sebetulnya apa fungsi guru BK, setidaknya ada dua, yaitu fasilitator dan katalisator perkembangan siswa. Guru BK berperan untuk menstimulasi siswa agar dapat berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri.
Analoginya, guru BK tidak berperan untuk memandikan siswa, tapi membuat siswa dapat mandi dengan sendirinya. Nak, seperti ini cara menyikat gigi, cara menggosok badan, cara menggunakan handuk.
Namun, guru BK tidak terlalu jauh turun untuk menyikatkan gigi siswa, menggosokkan badannya, menghanduki tubuh siswanya. Siswa yang akan berperan aktif dan siswa lah yang menjadi subjek dari proses bimbingan atau konseling yang terjadi. Layanan yang memandirikan, itulah inti dari layanan BK.
Dari uraian di atas, tak satu pun dapat kita temukan rujukan bahwa guru BK itu polisi sekolah, tukang marah, atau tukang hukum. Kesalahpahaman sering kali terjadi ketika satu dengan yang lain tak saling mengenal. Moga profesi guru BK makin berkembang baik dan dikenal baik. Jaya selalu bimbingan dan konseling Indonesia! Aamiin.
Pengirim: Hakim Herlambang Afghandi, Guru Bimbingan dan Konseling SMA Darul Hikam Bandung