Kenaikan UMP/UMK setiap tahun membuat ketar ketir pengusaha. Tahun 2020 UMP/UMK akan mengalami kenaikan hingga 8,51 persen. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa telah menetapkan UMK Jatim 2020 naik sebesar 8,51 persen. Senasib dengan UMK Jawa Barat. Karawang menjadi kabupaten dengan UMK tertinggi. Maju kena, mundur kena.
Saat upah naik, buruh bahagia. Namun, saat itu pula bakal menjadi beban bagi perusahaan. Bagai buah simalakama. Pemerintah akan dianggap memperhatikan nasib buruh karena menaikkan upah. Sementara pemerintah akan dianggap mengabaikan pengusaha karena terus menaikkan upah buruh tiap tahunnya.
Kenaikan UMP/UMK selalu menjadi momok tiap tahun bagi pengusaha. Bahkan beberapa pabrik yang beroperasi di Jawa Timur dan Jawa Barat buru-buru berpindah lokasi. Demi menghindari kenaikan upah yang terus menanjak. Jawa Tengah menjadi incaran baru bagi industri padat karya.
Sebab, UMK di Jawa Tengah masih tergolong rendah. Tak mencekik pengusaha. Tak mengancam produktivitas usaha mereka. Jawa Tengah pun menjelma menjadi sasaran empuk investasi di Indonesia.
Upah yang masih murah menjadi daya tarik investor menanamkan modal di Jateng terutama di sektor padat karya. UMP di Jateng pada 2020 saja masih Rp 1,7 juta, kurang dari separuh dari UMK-UMK di Banten dan Jabar. Dikutip dari CNBC Indonesia, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dalam akun media sosialnya, sempat memamerkan kegiatan pemda se-Jateng bertemu dengan calon investor dari China, Jepang, Korea dan lainnya dalam forum Central Java Investment Business Forum (CJIBF).
Bila banyak pabrik merelokasi industrinya ke tempat lain, maka hal ini akan berpengaruh pada tenaga kerja. Ketika Pabrik pindah, mungkinkah semua karyawan diboyong ke lokasi baru? Bila hal ini tak memungkinkan, maka akan berpengaruh pada tingkat pengangguran di wilayah tersebut. Sungguh dilematis.
Di satu sisi buruh senang, di sisi lain pengusaha nampak suram. Di satu sisi menetapkan kebijakan pro buruh, di sisi lain justru memicu angka pengangguran terbuka.
Persoalan upah memang selalu menjadi pemandangan tahunan yang tak berkesudahan. Nasib buruh belum sejahtera. Wajar bila mereka meminta upah yang lebih besar.
Sebab, mereka menghidupi anak istri secara mandiri. Mulai dari kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan hingga taraf keamanan. Pengusaha pun dituntut hal sama.
Dalam Islam, upah merupakan hak pekerja yang harus dibayarkan sesuai dengan jenis pekerjaannya. Upah bisa berbeda-beda dan beragam karena berbeda dan beragamnya pekerjaan. Besaran upah dalam Islam diukur berdasarkan jasanya, bukan tenaganya.
Sehingga penetapan upah berbeda-beda. Inilah yang menjadi masalah buruh di sistem saat ini. Upah ditentukan berdasarkan penetapan kebijakan suatu provinsi/kota/kabupaten. Meski berbeda jenis pekerjaan, upah yang didapat sama.
Selain itu, para buruh juga dibebani dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Seandainya negara menjamin kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan bagi rakyat, tentu tak ada tuntutan kenaikan upah yang terjadi tiap tahun.
Pengusaha juga tak akan merasa berat menanggung upah karyawannya. Sebab, mereka juga tak perlu terbebani dengan pemenuhan kebutuhan dasar ini.
Sayangnya, negara berlepas diri dari tanggungjawab itu. Rakyat justru dibebani dengan berbagai biaya untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Tak ada yang menjamin terpenuhinya sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan mereka.
Semua kebutuhan itu bergantung pada upah kerja kepala keluarga. Tak ada yang benar-benar gratis. Bahkan kenaikan upah menjadi tak berarti setelah pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen. Belum lagi kenaikan TDL dan berbagai kebutuhan lainnya.
Pengirim: Chusnatul Jannah