Pernikahan, impian setiap insan untuk membina suatu hubungan dalam bingkai pernikahan. Tak jarang muda mudi mendambakan pernikahan impian. Pernikahan yang hanya seumur hidup sekali, setia sampai mati, bahagia hingga ke syurga-Nya nanti.
Namun rupanya harapan tak seindah dengan kenyataan. Pasalnya kehidupan pernikahan bukan seperti kehidupan Cinderella, yang happy ending, selamanya.
Pernikahan bukan hanya masalah kamu dan aku, namun bagaimana pasangan mampu untuk mengahadapi masalah apapun yang datang dalam keluarga yang dibangunnya.
Oleh karena itu, rumahtangga yang akan dibangun harus dengan visi yang jelas. Fatal jika suatu rumah tangga tak dibangun berlandaskan visi yang jelas.
Ibarat perahu yang sedang berlayar di laut lepas, jika nahkoda tak punya tujuan, maka perahu akan terombang ambing di tengah lautan dan bahkan bukan hal yang tidak mungkin, perahu tersebut akan karam dan tenggelam selamanya.
Bukti nyata telah nampak dihadapan mata. Rumah tangga khususnya rumah tangga muslim sedang mengalami kegoncangan dahsyat. Betapa tidak, sering kita mendengar berita berbagai masalah datang dalam rumah tangga yang berakhir tragis, bukan hanya perceraian melainkan juga berakhir dengan tindakan kriminal. Misalnya kasus pembunuhan suami oleh istri, istri oleh suami, anak oleh ibu, ibu oleh anak, perselingkuhan dan masih banyak lagi.
Rumah tangga bahagia hingga jannah rupanya sudah mulai pudar. Orientasi-orientasi duniawi mewarnai rumah tangga muslim. Disibukkan dengan mencari materi sebanyak-banyaknya bekal masa depan katanya.
Namun sayang sungguh sayang, kesibukan membuat mereka terlupa hak dan kewajiban sebagai suami, istri, ayah maupun sebagai ibu. Lupa visi keluarga yang hendak dibangun agar rumah tangga harmonis awet hingga jannah.
Kurangnya kesadaran hak dan kewajiban sebagai seorang suami istri maupu sebagai ibu dan ayah dalam keluarga ini membuat pemerintah melalui menteri Muhadjir Effendi mencetuskan kebijakan untuk menggelar sertifikasi nikah dengan tujuan setiap pasangan yang akan menikah paham apa hak dan kewajibannya dalam keluarga.
Jika lulus, maka boleh menikah, jika tidak, maka tidak diperbolehkan menikah. Beliau menjelaskan pembekalan ini tak hanya berkaitan dengan agama, namun juga multi aspek. Nantinya, liputan6.com, Kemenko PMK bakal menggandeng Kemneterian agama dan Kementerian Kesehatan.
Kebijakan ini mengundang tanggapan yang berbeda-beda, Ada yang mendukung ada yang menolak. Bagi pihak yang mendukung kebijakan ini dengan alasan pelatihan calon pengantin memang harus dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan calon mempelai untuk mengarungi kehidupan rumah tangga dengan harmonis. Di sisi lain ada yang tidak setuju dengan kebijkan ini dengan alasan mempersulit orang untuk menikah.
Sebelum berbicara tentang pelatihan dan sertifikasi pernikahan, perlu disadari dari awal, sebenarnya apa penyebab retaknya kehidupan rumah tangga? Jika rumah tangga tak dibangun dengan visi yang jelas atau bahkan tak punya visi maka wajar jika terjadi huru hara dalam pernikahan yang berujung perceraian.
Hanya mengikuti rasa suka namun tak menyadari hakikat pernikahan. Akibatnya pernikahan berjalan begitu saja, dengan masalah yang tertumpuk tak tersolusi. Menjadi bom waktu.
Berberapa faktor lain yang mendorong tingkat perceraian di keluarga muslim khususnya di Jawa Timur. Dikutip dari detik.com, Berdasarkan data perceraian dari website Mahkamah Agung sepanjang tahun 2018 ada 419.268 pasangan suami istri (muslim) bercerai. Bahkan Khofifah, Gubernur Jawa Timur mengatakan bahwa angka perceraian di Jawa Timur menempati posisi tertinggi dibandingkan Jawa Tengah maupun Jawa Barat.
Di Kota Surabaya faktor ekonomi menjadi penyebab perceraian tertinggi di tahun 2018. Melansir data BPS Surabaya banyaknya perkara perceraian yang Pengadilan Agama terima pada tahun 2018 yaitu sebesar 6.153, meningkat dibanding tahun sebelumnya. Faktor utama ialah ekonomi, kemudian hubungan yang tidak harmonis serta gangguan pihak ketiga.
Kasus himpitan ekonomi, mental, depresi, tidak siap dengan beban dan egoisme masing masing nyatanya tak mampu diselesaikan hanya dalam waktu singkat dan harus melibatkan berbagai pihak. Problem syakhsiyah (kepribadian) misalnya, tak dapat diselesaikan dengan hanya mengikuti training dan mendapatkan sertifikat, melainkan harus diprogram sejak dini hingga membentuk pemahaman yang benar.
Selain itu, problem ekonomi misalnya, harus melibatkan sistem ekonomi yang ada hari ini yang harusnya mampu menyediakan lapangan kerja yang layak agar ekonomi keluarga stabil. Problem syakhsiyah (kepribadian) dan sistem periayahan negara terhadap rakyat termasuk masalah ekonomi yang di hadapi seperti pemenuhan kebutuhan hidup, misalkan pangan, sandang, papan, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang seringkali membuat stres jika tak terpenuhi akibat biaya selangit.
Jika masalahnya demikian maka tidak cukup hanya dengan pelatihan nikah, melainkan butuh pembinaan secara intensif dalam membangun rumah tangga yang bervisi surga, bukan hanya kepada calon mempelai tetapi semua masyarakat terutama generasi muda agar memiliki standar perbuatan yang sama yaitu sesuai dengan Allah perintahkan.
Selain itu dukungan negara sebagai suatu sistem, sangatlah penting menjaga keutuhan rumah tangga khususnya bagi muslim. Di bidang ekonomi agar keluarga tak dipusingkan dengan biaya hidup selangit yang memicu keretakkan rumah tangga. Dukungan ini sangat dibutuhkan agar tercapai visinya yakni visi akhirat, syurgaNya. Jaminan sertifikat bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat.
“Dan Allah menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani, Kemudian dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah” (QS.Al Fathiir: 11)
Pengirim: Eriga Agustiningsasi,S.KM