Jumat 29 Nov 2019 17:42 WIB

Ironi Wacana Gerakan 1 Ayam 1 Rumah di Negeri +62

Permasalahan stunting tak terselesaikan dengan Gerakan 1 Ayam 1 Rumah

Permasalahan stunting tak terselesaikan dengan Gerakan 1 Ayam 1 Rumah
Foto: Antara/Maulana Surya
Permasalahan stunting tak terselesaikan dengan Gerakan 1 Ayam 1 Rumah

Hidup di negara +62 ini tampaknya memang dituntut untuk multi talented di segala bidang. Tak hanya anak-anak usia sekolah yang dituntut untuk cakap di semua mata pelajaran dan meraih nilai bagus dalam sistem pendidikan kita.

Saat ini, setiap orangtua yang berarti tiap keluarga-keluarga di negeri ini harus juga pandai di bidang yang mungkin tak mereka kuasai. Beternak, misalnya. Bagi masyarakat yang tak pernah sama sekali berhubungan dengan hal itu, tentu sulit menerapkan usulan Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, yang diamini Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo tentang wajibnya setiap keluarga memelihara satu ekor ayam dengan tujuan mencegah stunting.

Baca Juga

Disebutkan, hal ini akan saling dilakukan sinergi antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Menurut Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, selama ini masyarakat kita masih mengutamakan beras dengan asumsi mengenyangkan.

Sedangkan gizinya tidak seimbang. Menurutnya, itu yang menyebabkan masyarakat kita banyak yang mengidap stunting. Ditambahkannya lagi, dengan memelihara ayam di setiap rumah, maka telur yang dihasilkan bisa untuk konsumsi anak-anak.

Kebijakan tersebut tentu membuat geli dan teramat dangkal bila dijadikan sebagai gerakan nasional yang diharapkan menjadi solusi permasalahan stunting. Selain rentan tidak berjalan efektif, sudah jelas negara seolah-oleh lepas urus dalam hal tanggung jawab terhadap kebutuhan rakyatnya.

Padahal kebutuhan soal pangan dan pemenuhan gizi termasuk dalam pemenuhan kebutuhan primer yang sudah semestinya dipenuhi negara. Tak hanya sektor ekonomi yang menuntut rakyat untuk kreatif, urusan memenuhi gizi pun, rakyat dituntut untuk mandiri, aktif memenuhi kebutuhannya sendiri.

Lalu, apakah Indonesia yang dikenal gemah ripah loh jinawi ini sudah terlampau miskin untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya? Bukankah Sumber Daya Alam yang dikelola dengan baik saja secara nyata bisa memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya? Bukan hanya kebutuhan segelintir orang seperti saat ini.

Ya, beginilah ironi hidup di negeri +62 sebab telah terjadinya fenomena neoliberal, “penjajahan” model baru. Seperti kata pepatah bagai mati di lumbung padi, ya inilah kita saat ini. Tak kuasa meski negeri sendiri berlimpah sumber daya. Gap antara yang berkepentingan dan berkuasa dengan yang tidak, makin terlampau jauh.

Bagaimana bisa untuk mengatasi masalah stunting, gerakan piara 1 ayam 1 rumah dibebankan kepada rakyat yang di sisi lain masih terus dicekik dengan berbagai kebijakan lain? Semisal penyesuaian tarif dasar listrik, kenaikan BPJS dua kali lipat, hingga lahan pekerjaan yang makin sulit didapat? Sementara pemerintah dengan mudahnya memberikan gaji Rp. 51 juta per bulan untuk staf khusus millenial presiden?

Semestinya pemerintah tak hanya mengandalkan solusi tambal sulam dan terkesan mengada-ada. Sebab, masalah stunting yang sedemikian kompleks tak mungkin hanya terselesaikan melalui gerakan 1 ayam 1 rumah semata.

Negara harusnya melirik Islam sebagai satu-satunya solusi untuk mengatasi permasalahan dari akarnya. Kebutuhan individu dalam Islam begitu dijamin hingga detil, tak ada standar garis kemiskinan minimal. Setiap hak keluarga dan perorangan harus dipenuhi. Bila kebutuhan dasar terpenuhi, masalah gizi dan jauh dari stunting juga pasti akan terselesaikan.

Tentu solusi kembali kepada Islam bukan solusi tambal sulam, karena Islam aturan paripurna ciptaan-Nya yang akan membawa kemaslahatan lebih banyak daripada kemudharatan seperti sistem sekuler dan aura neoliberal seperti saat ini.

Pengirim: Prita HW, Fulltime mom, pemilik www.pritahw.com dan penulis lepas

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement