Perdebatan mengenai trotoar tidak hanya untuk pejalan kaki namun juga untuk Pedagang Kaki Lima (PKL) terus bergulir. PKL menjadi polemik yang tidak kunjung usai dan seolah menjadi permasalahan tanpa solusi. Permasalahan ini kembali mencuat ketika Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengusulkan trotoar multifungsi dimana nantinya PKL akan diperbolehkan untuk berjualan di trotoar.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), trotoar adalah tepi jalan besar yang sedikit lebih tinggi daripada jalan tersebut, tempat orang berjalan kaki. Pemerintah menyediakan trotoar sebagai barang publik agar pejalan kaki dapat merasa aman dan nyaman.
Anies Baswedan mengatakan trotoar multifungsi dapat menjadi solusi bagi permasalahan PKL. Sebagaimana diberitakan Mediaindonesia.com, Anies menuturkan"Contoh saja di trotoar di dekat bundaran HI, di dekat FX itu ada kegiatan seni musik itu kan di trotoar juga. Nah maksud saya tuh pemanfaatannya bisa banyak, dan kita ingin Jakarta adil bagi semua, jangan Jakarta itu hanya milik sebagian," saat di Balairung Balaikota DKI, Jakarta Pusat, Kamis 29/8.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu ingin membangun DKI Jakarta sebagai kota yang ramah bagi pejalan kaki mengingat jumlahnya masih rendah. Kajian konsep trotoar multifungsi ini ditargetkan rampung pada bulan Desember 2019. Dalam kajian tersebut terdapat 13 titik yang nantinya akan digunakan sebagai lokasi berjualan para PKL. Yang dikaji bukanlah bentuk fisiknya melainkan titik-titik tersebut akan seperti apa.
Dikutip dari Republika.co.id, Kepala Dinas KUKMP (Koperasi, Usaha Kecil Mikro Menengah, dan Perdagangan) DKI Jakarta, Adi Ariantara, menuturkan “Bukan satu titik satu booth, bisa aja satu titik satu booth, dua booth. Nah itu yang masih dalam kajian tergantung luasan yang ada di Permen PU Nomor 3 Tahun 2013," saat di Blok F Balai Kota DKI, Kamis 21/11. Adi juga mengatakan bahwa aspek hukum, letak lokasi, dan desain usaha menjadi variabel yang masuk dalam kajian.
Melihat konsep trotoar multifungsi ini sudah dikaji dari berbagai aspek apakah masyarakat sudah bisa merasa tenang dan percaya bahwa trotoar multifungsi ini akan menjadi solusi yang tepat bagi masalah PKL? Bagaimana dengan konsep trotoar sebagai barang publik yang semula disediakan bagi pejalan kaki?
Apakah PKL dapat menaati peraturan yang dibuat ketika trotoar multifungsi ini benar-benar disahkan dan menjamin tidak menimbulkan masalah baru? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang timbul dari polemik trotoar untuk PKL ini sehingga muncul argumen-argumen yang kontra terhadap trotoar multifungsi ini.
Pertama, dampak adanya kegiatan seni musik di trotoar dengan PKL yang berjualan di trotoar tidaklah sama. Yang dikeluhkan warga dari keberadaan PKL salah satunya ialah kawasan tersebut yang menjadi kumuh dan kotor. Volume sampah jadi bertambah dengan keberadaan PKL.
Hal ini disebabkan masih banyak PKL tidak bertanggung jawab yang membuang sampah sembarangan ketika berjualan maupun meninggalkan sampah seusai berjualan. Berbeda dengan pelaksanaan kegiatan seni musik di trotoar yang sejauh ini lebih banyak memberi dampak positif.
Kedua, dikutip dari Republika.co.id, Pengamat Tata Kota, Nirwono Joga, menilai bahwa PKL di Indonesia sulit untuk mematuhi peraturan. Pedagang di Indonesia tidak bisa disamakan dengan pedagang negara lain yang sudah taat peraturan. Penerapan dengan syarat tidak mengganggu ruang minimal untuk berjalan kaki terbukti tidak efektif di lapangan, dapat dilihat dari kasus Tanah Abang, Jatinegara, Pasar Senen, dan tempat lainnya di Jakarta.
"Jakarta etalase kota Indonesia, jika penerapan ini benar - benar dilakukan akan berpotensi dicontoh oleh kota - kota lain di Indonesia. Bisa dibayangkan betapa semrawutnya trotoar yang sudah susah payah dan mahal dibangun pada akhirnya diokupasi PKL dan pejalan kaki tidak dapat berjalan aman dan nyaman di trotoar yang sejatinya dibangun untuk berjalan kaki," ungkap Nirwono.
Ketiga, konsep trotoar multifungsi merujuk pada Permen PUPR 3/2014 tentang Pedoman Perencanaan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Jaringan Pejalan Kaki di Kawasan Perkotaan yang dinilai bertentangan dengan UU 38/2004 tentang Jalan dan UU 22/2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Selama Undang-Undang tersebut masih berlaku seharusnya PKL dilarang untuk berjualan di trotoar. Sehingga yang perlu direvisi ialah Permen PUPR bukan UU karena kedudukan UU lebih tinggi dibandingkan dengan Permen.
Melarang PKL berjualan di trotoar bukan berarti menghancurkan mata pencarian pedagang. Siti, seorang PKL yang berjualan di trotoar, diungkap dari Merdeka.com, mengatakan bahwa sebenarnya sadar akan tempat untuk berjualannya salah dan berdampak negatif. Siti pun bersedia jika harus pindah namun dengan syarat penghasilan yang diterimanya akan tetap sama.
Melihat hal ini, pemerintah seharusnya dapat mencari solusi lain selain konsep trotoar multifungsi karena dengan trotoar multifungsi terdapat kemungkinan timbul masalah baru. Pemerintah perlu mencari cara untuk memindahkan PKL ke tempat yang tetap menguntungkan mereka namun tidak mengganggu fungsi barang publik seperti trotoar dan merugikan pihak lain.
Pengirim: Graciella Natasya Putri, Mahasiswi PKN STAN, asal Tangerang