Selasa 07 Jan 2020 21:10 WIB

Solusi Banjir Ibu Kota?

Sistem kelola tata kota sebaiknya disiapkan agar layak huni namun tak menzalimi.

Red: Yudha Manggala P Putra
Pascabanjir di kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur
Foto: Republika TV/Muhammad Rizki Triyana
Pascabanjir di kawasan Cipinang Melayu, Jakarta Timur

REPUBLIKA.CO.ID, BANTEN -- Hingga kini banjir masih menjadi momok menakutkan bagi penduduk ibu kota. Meski sebagian banjir di Jakarta merupakan "kiriman" dari daerah sekitar, namun sebagai wilayah yang posisinya lebih rendah daripada daerah sekitarnya seharusnya Jakarta menjadi mawas diri, bahkan sejak jauh-jauh hari.

Hal ini tentu sangat berkaitan dengan sistem kelola kota yang harus disiapkan agar layak huni, namun tak lantas menzalimi. Faktanya, daerah ibu kota telah banyak mengalami konversi lahan yang tak semestinya. Menurut WALHI, Jakarta adalah kota dengan penggunaan lahan untuk mal terbesar di dunia. Yakni sekitar 550 hektare. Sementara daerah resapan air hanya disisakan sebesar delapan persen saja dari luas keseluruhan ibu kota.

  

Ya, alih fungsi lahan secara masif terjadi di pusat perputaran uang terbesar di negeri ini. Jakarta, sebagai jantung negara telah mendapatkan porsi yang di luar batas kemampuannya. Tangan tangan haus kepentingan dengan mudah menyulap ibu kota, tanpa memperhatikan akibatnya. Alhasil, sangat terasa rakyat harus merasakan banjir ketika hujan, dan kekurangan air ketika musim panas.

Sementara itu, sikap saling menyalahkan antara banyak pihak ketika banjir melanda, menambah semrawut suasana ibu kota. Banjir di ibu kota seharusnya bisa diatasi. Butuh solusi sistemik untuk mengubah sisi sisi fundamental yang sekarang berperan mewarnai ibu kota. Tak mungkin berharap lagi pada kapitalisme sekuler yang menjadi dalang berbagai kerusakan hanya demi mencari keuntungan.

Semoga solusi perencanaan kota dan penanggulangan banjir di ibu kota tidak lepas dari tanggung jawab keimanan. Sehingga perencanaan yang dilakukan terkait tata kota sudah pasti tidak akan menzalimi lingkungan.

*Oleh: Ummu Azka, pendidik dari Serang, Banten.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement