Senin 11 Jul 2022 13:54 WIB

Kasus Jombang Lamban, Pengamat: Pendekatan Polisi Harus Dievaluasi

Pengamat menilai pendekatan polisi harus dievaluasi karena lambannya kasus Jombang.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Polda Jawa Timur menangkap Moch Subchi Azal Tsani yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Ploso, Jombang. Pengamat menilai pendekatan polisi harus dievaluasi karena lambannya kasus Jombang.
Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq
Polda Jawa Timur menangkap Moch Subchi Azal Tsani yang menjadi tersangka kasus dugaan kekerasan seksual terhadap sejumlah santriwati di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Ploso, Jombang. Pengamat menilai pendekatan polisi harus dievaluasi karena lambannya kasus Jombang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengkritisi penanganan kasus pencabulan yang diduga dilakukan MSA terhadap santriwati Pondok Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang. Menurutnya, kasus itu berjalan lambat hingga MSA baru ditangkap setelah viral.

Bambang memandang pihak kepolisian wajib melakukan evaluasi soal mekanisme pendekatan persuasif terhadap MSA. Ia menyayangkan kepolisian yang sempat gagal menangkap MSA selama beberapa tahun terakhir.

Baca Juga

"Kenapa tidak bisa melakukan tindakan persuasif pada tersangka? Penting membangun persepsi pada publik bahwa polisi tidak melakukan kriminalisasi pada orang yang tak bersalah," kata Bambang dalam keterangan yang dikutip Republika pada Senin (11/7).

Bambang menekankan kepolisian memang membutuhkan ketepatan dan kecepatan guna menangani kasus ini hingga tuntas. Hanya saja, ia menduga proses tersebut mengalami kendala.

"Untuk tepat itu tidak mudah apalagi dalam kasus Jombang ini alat bukti dan saksi-saksi tidak cukup," ujar Bambang.

Bambang menduga ketidakcermatan dan ketidakcepatan kepolisian yang membuat MSA enggan ditangkap karena merasa dikriminalisasi. "Ini yang bisa saja dirasakan MSA dan pendukungnya, walau ini hanya fakta-fakta sosial," lanjut Bambang.

Apalagi menurut Bambang, ada ketakutan ketika seseorang sudah ditetapkan sebagai tersangka. "Seolah seseorang yang dijadikan tersangka itu pasti salah. Padahal tidak begitu karena yang menentukan seseorang bersalah atau tidak itu ada di pengadilan lewat putusan hakim," ujar Bambang

Walau demikian, Bambang menyampaikan penolakan penangkapan MSA sebenarnya tak perlu dilakukan. Ia menyayangkan sikap MSA yang memperlambat jalannya proses hukum hingga menggalang massa pendukung.

"Kasus itu sebenarnya tak perlu terjadi bila pihak tersangka juga kooperatif, sehingga kepolisian tak perlu mengerahkan kekuatan yang begitu besar untuk menangkapnya," ucap Bambang.

Bambang mengingatkan proses hukum tetap wajib dijalani oleh MSA. Nantinya, MSA pun punya kesempatan membantah semua tuduhan di pengadilan.

"Terlepas bahwa ada ketidakpercayaan pada penegak hukum (polisi), proses hukum harus dijalani, tak bisa dihindari apalagi dilawan. Dalam proses itulah akan dicari dan ditemukan keadilan secara obyektif melalui mekanisme di pengadilan yang fair," tegas Bambang.

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan MSA tersebut diketahui telah berjalan lebih dari dua tahun. Awalnya, kasus tersebut ditangani oleh Kepolisian Resor (Polres) Jombang dengan Nomor LPB/392/X/RES/1.24/2019/JATIM/RES.JBG. Dalam prosesnya, perkara itu kemudian diambil alih Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur.

Sebelum menangkap paksa Bechi, polisi telah mengutamakan tindakan persuasif kepada tersangka. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil sehingga polisi melakukan penangkapan paksa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement