REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengkritisi sistem pondok pesantren yang tertutup karena akan sangat rentan terjadi kekerasan seksual maupun psikologis. "Saya mengkritisi sistem pondok pesantren yang tertutup, yang orang tua tidak bisa menengok atau bertemu. Nah itu, kan, berbahaya. Anak-anak, baik itu santri maupun santriwati bisa menjadi korban," ujar Seto, Senin (11/7/2022).
Pernyataan pria yang disapa Kak Seto itu menanggapi perihal kasus kejahatan seksual dan psikologis di pondok pesantren yang akhirnya terungkap. Menurut dia, sistem pesantren yang tertutup, sulit untuk melakukan pengawasan dan memungkinkan santri sulit melapor jika mengalami masalah.
Ia sering mendapat laporan orang tua yang "memondokkan" anaknya di pesantren tidak bisa berkomunikasi dengan putra atau putrinya untuk waktu yang cukup lama. Bahkan jika terjadi dugaan kekerasan psikologis maupun seksual, korban mendapat ancaman untuk tidak melapor.
"Mungkin sekarang baru sedikit (yang terungkap). Mungkin diancam kalau sampai lapor kamu berdosa. Termasuk tekanan-tekanan lain," kata dia.
Menurutnya, upaya pencegahan kekerasan psikologis maupun seksual harus diatasi secara holistik. Perlindungan terhadap anak-anak wajib melibatkan RT/RW, warga kampung, lembaga, hingga kementerian, tidak bisa berdiri sendiri.
Di satu sisi diperlukan pula pemasangan CCTV di lembaga-lembaga pendidikan, baik itu formal maupun corak keagamaan, agar memudahkan orang tua memantau perkembangan anak-anaknya selama mengenyam pendidikan.
Ia mencontohkan apabila terjadi sesuatu pada anak-anaknya, yang ditandai dengan perubahan pola prilaku atau keseharian, maka orang tua bisa memantaunya secara langsung. Termasuk bisa menjadi bukti bagi kepolisian jika terjadi kekerasan seksual.
"Itu pentingnya preventif. Keluarga berani melapor, masyarakat berani, media berani mengangkat, dan aparat penegak hukum termasuk dalam hal ini negara," kata dia.