Selasa 12 Jul 2022 05:48 WIB

RKUHP Dinilai Berpotensi Ancam Demokrasi

RKUHP dikhawatirkan akan digunakan sebagai alat memuluskan tujuan penguasa.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Mahasiswa memegang poster saat aksi Bandung Lautan Amarah di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Dalam aksi tersebut mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) serta mendesak pemerintah untuk melakukan transparansi terhadap draf RKUHP. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Mahasiswa memegang poster saat aksi Bandung Lautan Amarah di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Kamis (30/6/2022). Dalam aksi tersebut mereka menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) serta mendesak pemerintah untuk melakukan transparansi terhadap draf RKUHP. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES Milda Istiqomah menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpeluang mengancam demokrasi di Tanah Air. Ia khawatir, KUHP akan digunakan guna memuluskan tujuan penguasa. 

Kekhawatiran Milda bukan tanpa dasar. Milda mengungkapkan adanya keinginan besar negara dalam mengendalikan kebebasan warga negara. Hal ini bisa dilihat dari pasar per pasal yang dicantumkan dalam RKUHP. 

Baca Juga

"Alih-alih mendemokratiskan hukum pidana, RKUHP ini mengancam kebebasan dasar dan HAM. RKUHP lebih digunakan untuk melindungi kepentingan politik negara dan kelompok masyarakat ketimbang mencari keseimbangannya dengan kebebasan sipil dan hak-hak individu," kata Milda dalam risalah diskusi yang dikutip Republika pada Senin (11/7/2022). 

Milda menyoroti beberapa pasal seperti penggelandangan, pasal mengenai pembiaran unggas berkeliaran yang diatur dalam RKUHP. Padahal menurutnya pasal-pasal tersebut dirasakan sebagai bentuk kriminalisasi berlebihan. 

"Hukum pidana tidak lagi dilihat sebagai ultimum remidium tetapi digunakan sebagai instrumen penekan dan pembalasan," ujar Milda. 

Milda mengingatkan, bahwa RKUHP mestinya bukan hanya berpihak pada aspek penghukuman. Ia menyayangkan RKUHP bila dianggap penawar dari berbagai masalah di masyarakat. 

"Hukum pidana dianggap sebagai obat dari segala penyakit masyarakat," ucap Milda. 

Walau demikian, Milda tetap memandang RKUHP ini masih sebatas berpotensi mengancam demokrasi. Ia masih menggunakan kata berpotensi lantaran berharap RKUHP batal mengancam demokrasi. 

"Karena sudah banyak pakar hukum dan politik yang mengatakan bahwa rezim ini sudah beranjak ke sistem otoriter. Apakah RKUHP ini akan dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan? Inilah yang harus kita jawab bersama," tegas Milda. 

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus LP3ES Prof Didik J Rachbini menyayangkan praktik pembajakan demokrasi yang dilakukan oleh pelopor dan pelaku demokrasi 1998. Salah satunya dengan memasukkan pasal penghinaan kepada Presiden dalam RKUHP. 

"Jadi setelah tahun 1998 mereka buta dan melabrak apa saja, termasuk pasal penghinaan presiden. Sebenarnya pasal penghinaan presiden ada dalam hubungan pribadi-pribadi, ini diangkat-angkat ke dalam jabatan. Nanti mengkritik itu akan dianggap menghina. Jadi ini merupakan praktik anti-demokrasi yang sudah melingkupi seluruh sudut-sudut parlemen, aparat negara," tegas Didik. 

Didik lantas mengajak segenap elemen bangsa agar merespons keresahan yang ditimbulkan dari RKUHP.  "Kelompok intelektual, akademisi tidak boleh diam melihat kondisi seperti ini. Kita harus sensitif dengan kondisi sekitar," ucap Didik. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement