Pemekaran di Papua Harus Sejahterakan Masyarakat Setempat
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menyerahkan pandangan pemerintah tentang RUU Pemekaran Provinsi Papua kepada Ketua DPR RI Puan Maharani pada rapat paripurna ke-26 masa persidangan V tahun 2021-2022 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat Paripurna tersebut beragendakan di antaranya pengambilan keputusan atas RUU pembentukan Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan. | Foto: Prayogi/Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Dr Gabriel Lele mengatakan, mereka coba menekankan transformasi konflik sebagai kerangka pemekaran Papua. Itu harus diterjemahkan ke semua konteks kultural/struktural dan negara perlu intervensi holistik.
Gabriel menyampaikan kalau GTP UGM memberikan perhatian khusus kepada aspek-aspek mikro. Seperti relasi Orang Asli Papua (OAP) dengan migran, hak ulayat, perekonomian yang berpihak kepada OAP, dan inklusivitas politik serta birokrasi.
"Hal ini diharapkan mampu memberikan warna dalam proses transformasi konflik," kata Gabriel dalam Papua Strategic Policy Forum (PSPF) 12 dengan tema Pemekaran sebagai Resolusi Konflik yang digelar GTP Universitas Gadjah Mada, Rabu (13/7).
Sayangnya, Gabriel melihat, tiga RUU tentang pembentukan Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan masih jauh dari semangat tersebut. Meski begitu, langkah itu merupakan kompromi terbaik yang dapat diambil pemerintah hari ini.
Direktur Penataan Daerah Otsus dan DPOP Kemendagri, Valentinus Sudarjanto Sumito menuturkan, mereka memetakan faktor pendukung pemekaran Papua. Misal, terkait konfigurasi politik lokal, polarisasi masyarakat pegunungan dan pesisir.
Kemudian, kondisi geografis yang luas dan rumit dan best practice saat pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat). Valent turut menyampaikan, pemerintah menyusun roadmap operasionalisasi pelaksanaan pemerintahan di provinsi baru.
Mulai pelantikan Pj Gubernur, peresmian provinsi, pembentukan perangkat daerah, dan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP). Mereka turut mendesain penyusunan peraturan-peraturan gubernur tentang R-APDB, pengisian DPR, DPD, maupun DPRP.
"Penetapan daerah pemilihan pemilu 2024 sudah diatur sampai pengalihan aset dan dokumen, penyusunan rencana tata ruang wilayah, penyiapan sarana dan prasarana pemerintahan, pengalokasian dana hibah, pembinaan, pengawasan, dan evaluasi," ujar Valent.
Deputi Bidang Politik dan Pemerintahan Jaringan Damai Papua (JDP), Pares L Wenda menyampaikan, sejumlah catatan tentang pemekaran. JDP berharap pemekaran dapat menyejahterakan OAP dan tidak elitis. Pares berharap pemekaran memberi garansi.
Sehingga, pelanggaran HAM dan marjinalisasi OAP tidak terjadi. Pembangunan usai pemekaran diharapkan menyentuh OAP hingga akar rumput. Pemekaran harus pastikan OAP mendapat akses luas dalam pemerintahan, politik, ekonomi, dan sosial budaya.
"Pemekaran juga harus menjamin tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang masif dan tidak melanggar hak ulayat masyarakat," kata Pares.
Guru Besar Fisipol UGM, Prof Purwo Santoso menuturkan, OAP masih sering terjebak konflik dan krisis kepercayaan 20 tahun otsus di Papua. Gagasan mengedepankan kekhususan Papua masih membingungkan, utamanya dari level detail.
Pemerintah kerap menggunakan perspektif hitam putih di atas realitas sosial, sehingga masih menyisakan berbagai persoalan. Purwo turut menekankan agar gagasan Papua damai tidak boleh dimaknai hanya dengan sekali dialog.
"Tapi, harus ada proses mendialogkan data, tata berpikir dan melekatkan dalam cara kerja birokrasi, sehingga menjadi ruh baru," ujarnya.