Dolar Tembus Rp 15 Ribu, Pakar: Masyarakat tidak Perlu Panik
Rep: Dadang Kurnia/ Red: Yusuf Assidiq
Warga menghitung uang di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Rabu (6/5/2020). Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berlanjut. Rupiah sempat menyentuh level harian paling lemah pada Rp 15.039 per dolar AS pada pagi tadi, saat ini kurs rupiah spot ditutup pada Rp 14.999 per dolar AS.Prayogi/Republika. | Foto: Prayogi/Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar ekonomi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Imron Mawardi mengingatkan, masyarakat tidak perlu panik meski nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus melemah. Bahkan sempat menyentuh Rp 15 ribu per dolar AS.
Imron menyatakan, masih banyaknya faktor penunjang yang membuat perekonomian Indonesia tetap kuat di tengah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. “Kalau menurut saya angka (satu dolar AS) ke Rp 15 ribu ya ini hanya soal keseimbangan saja. Saya kira tidak perlu dikhawatirkan, karena di sisi yang lain kita memiliki cadangan devisa yang besar,” ujarnya di Surabaya, Rabu (13/7/2022).
Saat ini cadangan devisa Indonesia sangat besar, lanjut dia, yakni mencapai 150 miliar dolar AS, sehingga masih aman untuk belanja impor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi itu, tentu berbeda jauh dengan negara Sri Lanka yang hanya memiliki cadangan devisa 50 juta dolar AS, sehingga negara tersebut tidak mampu lagi mengimpor kebutuhan.
Sekalipun itu kebutuhan pokok seperti Bahan Bakar Minyak (BBM). “Dengan adanya cadangan yang besar ini pun, ternyata masih membuat rupiah kita menyentuh angka Rp 15 ribu. Tidak bisa dibayangkan kalau ketahanan devisa kita itu rendah maka dipastikan dolar akan jatuh lebih dalam dibanding keadaan saat ini,” katanya.
Imron pun mengungkap alasan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Menurutnya, faktor terbesar bersumber dari perang antara Ukraina dengan Rusia, yang menyebabkan inflasi tinggi di Amerika Serikat.
“Inflasi di bulan lalu mencapai 8,6 persen, artinya year on year mencapai 8,6 persen dan itu inflasi (AS) tertinggi sejak 1981. Ya ini merupakan salah satu dampak dari perang Rusia-Ukraina juga,” ujar imron.
Perang Rusia dan Ukraina, kata dia, membuat terganggunya impor pasokan kebutuhan dalam negeri ke AS. Hal itu, menyebabkan harga-harga komoditas baik pangan maupun energi menjadi naik dan inflasi di AS pun tidak dapat dihindarkan.
“The Fed (Bank Sentral AS) berusaha menahan itu (inflasi) dengan menaikan tingkat bunga, sehingga waktu itu tingkat bunga naik 0.25 persen yang kemudian dilanjutkan dengan 0.75 persen sehingga menjadi satu persen dan itu termasuk tingkat bunga yang sangat tinggi,” jelasnya.
Kenaikan tingkat bunga, lanjutnya, tentu memicu dolar yang berada di luar negeri untuk ditarik ke negara asal. Ketika dana tersebut ditarik, maka harus mengonversi ke dolar yang membuat permintaan terhadap dolar tinggi dan harga dolar semakin menguat.
“Dengan naiknya inflasi di Amerika kemudian diikuti kenaikan suku bunga di Amerika maka ada keyakinan bahwa investasi di sana (AS) lebih berprospek, sehingga banyak dana-dana dari Amerika yang ada di luar kemudian ditarik,” ujar Imron.