REPUBLIKA.CO.ID, MILAN -- Petani Rita Tolu melihat gelombang hitam besar menyerbu cakrawala dan mengambil alih ladang pada April. Ketika itu dia langsung tahu bahwa hanya sedikit dari pakan ternak kering dan tanaman alfalfa akan tersisa di hari-hari berikutnya.
Perempuan berusia 40 tahun itu dan petani lain yang bekerja di daerah tengah pulau Sardinia Italia telah melihat gerombolan miliaran belalang merusak tanah mereka. Serangan ini menjadi terburuk selama lebih dari tiga dekade.
Invasi tersebut diproyeksikan akan mempengaruhi area sekitar 60.000 hektare tahun ini. Jumlah ini dua kali lipat dari 2021 dan sangat jauh dibandingkan dengan hanya 2.000 hektare pada 2019.
Menurut Tolu, banyak dari rekan-rekannya mungkin harus menutup bisnis. Wabah belalang menambah dampak kekeringan dan kenaikan biaya bahan bakar pada petani.
Tolu dan keluarganya menjalankan peternakan sapi perah seluas 200 hektar di dekat desa Noragugume. Tanaman dan pakan ternak seperti rerumputan juga ditanam dengan sekitar 1.000 domba merumput.
Tahun ini, Tolu hanya mampu mengumpulkan 200 tumpukan jerami, jauh jika dibandingkan 1.000 tumpukan pada 2021. Bahkan beberapa di antaranya dipanen lebih awal sebagai tindakan pencegahan dan kehilangan sebagian kualitas nutrisinya.
"Di sini orang bertani untuk menghindari pembelian pakan ternak dan pakan ternak lainnya,” kata walikota Noraguume Rita Zaru.
Wilayah tersebut lebih dari 70 persenya dari sekitar 280 penduduk bekerja di pertanian dan penggembalaan. Zaru mengatakan, siapa pun yang memilih untuk bertani padang rumput tahun ini untuk meningkatkan produksi susu telah kehilangan seluruh investasi awal mereka karena belalang.
Masalah belalang ini memang bukan hal baru di Sardinia. Pada 1946, sekitar 1,5 juta hektar lahan, yang mencakup dua pertiga wilayah pulau, terkena dampak belalang yang menyebar dengan cepat melintasi ladang yang ditinggalkan selama Perang Dunia Kedua.
Ignazio Floris yang mengajar Entomologi Umum dan Terapan di Sardinia Sassari University mengatakan, depopulasi dan lahan yang tidak diolah sekali lagi menjadi salah satu alasan utama di balik peristiwa alam semacam ini. Meningkatnya suhu dan kurangnya hujan juga berperan besar karena tanah yang kering dan padat memudahkan belalang bertelur.
Floris mencatat bahwa invasi tahun ini telah mempengaruhi area yang setara dengan 2-3 persen dari pulau itu. Ukuran ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan bencana 1946 atau 1988-89, ketika 81.000 hektare terdampak.
Meski begitu, prospeknya tidak pasti, Floris tidak mengharapkan belalang berkembang biak dengan cepat hingga 2023. Dia menekankan solusi yang direncanakan seperti membajak lebih banyak ladang dan penyebaran jenis kumbang tertentu yang memakan telur belalang.
Floris juga mengesampingkan belalang endemik di Sardinia pindah ke bagian lain Italia. Spesies khusus seperti belalang Maroko ini berbeda dari belalang Gurun yang telah merusak negara-negara Afrika dan Lebanon dalam beberapa tahun terakhir.