Polisi Tangkap Tujuh Pelaku Penyebar Nomor Anak di Bawah Umur
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Jajaran Polda DIY saat gelar perkara kasus tindak kejahatan terhadap anak, eksploitasi, dan distribusi materi pornografi dan kesusilaan. | Foto: Wahyu Suryana
REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tersangka tindak kejahatan terhadap anak, eksploitasi, dan distribusi materi pornografi dan kesusilaan korban anak bertambah. Pengembangan grup-grup dari tersangka FAS, Ditreskrimsus Polda DIY menangkap lagi tujuh tersangka.
Dirreskrimsus Polda DIY, Kombes Pol Roberto Gomgom Manorang Pasaribu mengatakan, pemeriksaan digital forensik menemukan 10 akun komunikasi Facebook dan WhatsApp. Dari 10 grup tersebut, kini dikerucutkan ke dua grup bernama GCBH dan BBV.
Yang mana, ditemukan dugaan aktivitas berbagi konten pornografi melibatkan anak di bawah umur. Tersangka FAS yang sebelumnya sudah ditangkap mengikut dua grup tersebut. Grup ini yang jadi sumber awal mereka mendapat nomor ponsel korban.
Korban yang merupakan anak-anak merupakan target untuk 'grooming' dengan membuat mereka nyaman dan mengaku teman sebaya atau sehobi. Tujuannya, agar mereka bisa melakukan video call, bahkan diajak melakukan perbuatan melanggar kesusilaan.
"Penangkapan tujuh tersangka dilakukan tersebar di enam provinsi mulai dari Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur," kata Roberto, Rabu (13/7/2022).
Peran mereka berbeda. Tersangka DS merupakan pembuat grup WA dengan nama GCBH pada 2 Desember 2021. DS membagikan link tersebut di Facebook dan grup WhatsApp yang sebelumnya diikuti DS. Ada pula SD yang merupakan admin dari grup WA GCBH.
Kemudian, ada pula tersangka AR, DD dan ABH yang merupakan anggota dan kerap mengunggah dan membagi video bermuatan konten pornografi terhadap anak. AR dan tersangka lain AN merupakan pula anggota dari grup WA serupa yang bernama BBV.
Mereka dijerat pasal 45 ayat (1) jo pasal 27 ayat (1) jo pasal 52 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Lalu, pasal 29 jo pasal 4 ayat (1) UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Selain itu, pasal 14 jo pasal 4 ayat (1) huruf (I) jo pasal 4 ayat (2) huruf e UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS. Khusus untuk UU TPKS tersebut, tersangka dapat dipidana paling lama empat tahun atau denda paling banyak Rp 200 juta.
"Kita upayakan pelaku bisa mendapat hukuman secara maksimal agar ada efek jera dan pelaku memahami perbuatan yang dilakukan tersebut salah. Saat ini, kita masih pula mengembangkan lagi delapan grup-grup percakapan," ujar Roberto.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menyampaikan, apresiasi kepada Polda DIY yang telah mengungkap kasus ini. Ia menekankan, ini merupakan kasus besar yang memiliki dampak luar biasa bagi anak-anak yang menjadi korban.
Apalagi, ia mengingatkan, kalau dilihat dari sisi tren nasional kejahatan cyber dan pornografi urutan ketiga, setelah fisik dan psikis dan kejahatan seksual dan anak. Susanto merasa, ini rangkaian usaha mencegah pelaung kasus terjadi lagi.
Belum lagi, pada era digital seperti sekarang mengakses dunia digital sangat umum bagi anak-anak. Bahkan, penelitian yang mereka lakukan menemukan 25 persen lebih anak-anak mengakses media digital lebih dari lima jam dalam satu hari.
Kalau perlindungan orang tua dan literasi lemah dalam pengawasan penggunaannya, kerentanan anak menjadi korban semakin tinggi. Ia mengingatkan, hari ini walau anak kita ada di rumah, ancaman melalui media digital tetap harus diwaspadai.
"Ini tantangan berat bagi orang tua sebagai pelindung utama. Guru juga penting untuk interaksi, penting memastikan agar anak tidak terpapar konten negatif. Kita harus bersatu padu memastikan anak-anak terhindar dari konten negatif," kata dia.