Kamis 14 Jul 2022 08:45 WIB

Pengamat Budaya UI: Hasilkan Uang dari Content Creator tak Salah, Tapi...

Pengamat budaya dari UI sebut jadi content creator harus serius dan juga bermanfaat.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Bilal Ramadhan
Remaja Citayam, Roy bersama pacarnya, Jeje. Roy yang kerap nongkrong di Sudirman menolak tawaran beasiswa dari Menparekraf Sandiaga Uno dan memilih untuk menghasilkan uang dari menjadi content creator. Pengamat budaya dari UI sebut jadi content creator harus serius dan juga bermanfaat.
Foto: Instagram Roy
Remaja Citayam, Roy bersama pacarnya, Jeje. Roy yang kerap nongkrong di Sudirman menolak tawaran beasiswa dari Menparekraf Sandiaga Uno dan memilih untuk menghasilkan uang dari menjadi content creator. Pengamat budaya dari UI sebut jadi content creator harus serius dan juga bermanfaat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pengamat budaya dan komunikasi digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan menyarankan sejumlah cara yang bisa dilakukan oleh guru dan orang tua dalam menghadapi tantangan generasi Z (Gen Z) di era digital.

Salah satu tantangannya adalah budaya populer (pop culture). Firman mengatakan pengaruh budaya populer tersebar lewat media sosial dan sangat cepat memengaruhi khalayak.

Baca Juga

“Ciri yang disebut budaya populer adalah perilaku, gaya hidup, termasuk artefaknya yang mudah diikuti, ditiru, menghasilkan popularitas instan, hingga keuntungan ekonomi cepat,” kata Firman saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/7/2022).

Salah satu pengaruh dari budaya populer yang terlihat adalah banyak dari mereka yang ingin menjadi konten kreator, seperti yang dikatakan oleh Roy Citayam. Roy kembali viral lantaran menolak beasiswa yang diberikan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno. Menurut Roy, menjadi konten kreator lebih “menjanjikan” dibandingkan menempuh pendidikan.

Dari contoh tersebut, Firman menjelaskan kenyataan menghayati dunia konten dan budaya populer yang cepat “menghasilkan” uang tidak salah. Namun, itu harus dilakukan dengan keseriusan dan bermanfaat pada khalayak.

“Tapi yang perlu disadari, ini bisa menjadi pandangan yang tidak lengkap, harus diuji dengan waktu. Jika banyak pemain yang melakukan hal yang sama, pasar akan jenuh. Ketika pasar jenuh, untuk memperoleh sesuatu tidak semudah seperti sebelumnya,” ujarnya.

Firman menyebut ini menunjukan bahwa sesuatu yang instan biasanya lebih cepat pudar dibandingkan sesuatu yang diperoleh dari hasil perjuangan, seperti menempuh pendidikan tinggi. Dia menyarankan agar guru dan orang tua terus mendukung mereka untuk mendalami passion-nya, membuat konten hingga mampu bersaing di tingkat global dibarengi dengan pendidikan.

“Jangan lupa pengayaan wawasan lewat pendidikan juga tetap ditempuh. Sekolah yang dijalani dengan passion, juga terbukti memberikan alternatif karir yang beragam. Terlebih, jika ada yang memberi beasiswa,” tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement