REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti pengusutan kasus penembakan terhadap Brigadir J di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. KontraS menemukan berbagai kejanggalan yang mewarnai kasus tersebut.
KontraS meyakini terdapat beberapa kejanggalan yang sifatnya tak masuk akal berdasarkan kronologis yang disampaikan Polri. Pertama, KontraS menyebut terdapat disparitas waktu cukup lama antara peristiwa dengan pengungkapan ke publik yakni sekitar dua hari. Kedua, kronologis yang berubah-ubah disampaikan oleh pihak Kepolisian.
Ketiga, ditemukannya luka sayatan pada jenazah Brigadir J di bagian muka dan keluarga yang sempat dilarang melihat kondisi jenazah. Keempat, CCTV dalam kondisi mati pada saat peristiwa terjadi. "Sejumlah kejanggalan tersebut merupakan indikasi penting bahwa Kepolisian terkesan menutup-nutupi dan mengaburkan fakta kasus kematian Brigadir J. Terlebih keberadaan Kadiv Propam saat peristiwa terjadi pun tidak jelas," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar di Jakarta, Kamis (14/7).
KontraS juga mendapati keterangan mengenai luka tembak antara Polri dengan keluarga memiliki perbedaan signifikan. Pihak keluarga mengatakan ada empat luka tembak pada tubuh Brigadir J, yakni dua luka di dada, satu luka tembak di tangan, dan satu luka tembak lainnya di bagian leher.
Kemudian, mereka mengatakan terdapat luka sayatan senjata tajam di bagian mata, hidung, mulut, dan kaki. "Hal ini berlainan dengan keterangan Kepolisian yang menyebutkan bahwa terdapat tujuh luka dari lima tembakan," ujar Rivanlee.
Atas dasar itulah, KontraS menyebut ini bukan kali pertama upaya Kepolisian dalam menyembunyikan fakta. Sebab KontraS meyakini hal serupa terjadi pada kasus terdahulu, seperti penembakan terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI).
Berdasarkan pemantauan, KontraS menemukan sejumlah pola yang terjadi dalam mekanisme pertanggungjawaban perkara pidana yang melibatkan anggota kepolisian. "Pertama ketidaktegasan dalam mendorong mekanisme pidana pada anggota yang terbukti bersalah dan menyerahkan pada mekanisme internal (etik/disiplin) semata; kedua, upaya menyelesaikan perkara dengan cara 'kekeluargaan' yang membuat pihak korban menjadi tertekan dan menyetop perkara; ketiga, tidak adanya evaluasi kelembagaan serta perbaikan institusi dari kesalahan yang terjadi," ucap Rivanlee.
Selain memunculkan keberulangan peristiwa, tiga hal di atas akan berimplikasi pada terkikisnya kepercayaan masyarakat dan meruntuhkan wibawa Korps Bhayangkara. Sebab hal tersebut akan mencoreng asas equality before the law dan hanya akan memperpanjang fenomena impunitas aparat.
"Langkah pengusutan kasus brigadir J sebenarnya dapat menjadi modal institusi Polri untuk memperbaiki kinerja, utamanya di ranah akuntabilitas yang selama ini jadi sorotan masyarakat," ucap Rivanlee.