Jumat 15 Jul 2022 23:52 WIB

PGRI Ajak Masyarakat Jaga Etika dan Jadi Pejuang Anti-Hoaks

PGRi menyebut etika menjadi solusi berkolaborasi dalam ruang digital

Hoaks (ilustrasi). Masyarakat digital sudah seharusnya fasih menghadapi informasi yang bertebaran sangat banyak di ruang digital. Hal itu karena ruang digital telah menjadi ajang interaksi dan komunikasi antar-manusia dengan beragam kultur. Di sini etika berkomunikasi sangat diperlukan, salah satunya dengan menjadi pejuang anti-hoaks di ranah digital.
Foto: Dok Republika.co.id
Hoaks (ilustrasi). Masyarakat digital sudah seharusnya fasih menghadapi informasi yang bertebaran sangat banyak di ruang digital. Hal itu karena ruang digital telah menjadi ajang interaksi dan komunikasi antar-manusia dengan beragam kultur. Di sini etika berkomunikasi sangat diperlukan, salah satunya dengan menjadi pejuang anti-hoaks di ranah digital.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Masyarakat digital sudah seharusnya fasih menghadapi informasi yang bertebaran sangat banyak di ruang digital. Hal itu karena ruang digital telah menjadi ajang interaksi dan komunikasi antar-manusia dengan beragam kultur. 

Di sini etika berkomunikasi sangat diperlukan, salah satunya dengan menjadi pejuang anti-hoaks di ranah digital.  

”Etika bermedia digital merupakan solusi dalam berkolaborasi di ruang digital. Sedangkan menjadi pejuang anti-hoaks, cara paling mudah adalah dengan tidak langsung menyebarkan apa pun informasi yang kita terima,” kata Humas PGRI Fajar Tri Laksono dalam webinar Literasi Digital ”Indonesia Makin Cakap Digital” yang digelar Kementerian Kominfo untuk komunitas digital wilayah Bali-Nusa Tenggara, Jumat (15/7).

Fajar mengatakan, setidaknya ada empat ruang lingkup etika yang harus diterapkan saat berada di ruang digital. Pertama, kesadaran, yang artinya melakukan sesuatu dengan sadar atau memiliki tujuan. Kedua, tanggung jawab, berupa kemauan menanggung konsekuensi dari perilakunya. Ketiga, integritas atau kejujuran. Dan terakhir adalah kebajikan.

”Integritas berarti menghindari plagiasi maupun manipulasi. Sedangkan kebajikan bermakna melakukan hal-hal yang bernilai, bermanfaat, kemanusiaan dan kebaikan,” urai Fajar di hadapan peserta webinar bertajuk ”Menjadi Pejuang Anti Hoaks di Dunia Digital”.

Webinar #MakinCakapDigital 2022 yang merupakan bagian dari sosialisasi Gerakan Nasional Literasi Digital ini diselenggarakan oleh Kemenkominfo bekerja sama dengan Siberkreasi. Kegiatan yang diagendakan digelar hingga awal Desember nanti diharapkan mampu memberikan panduan kepada masyarakat dalam melakukan aktivitas digital.

Lebih lanjut, anggota Ikatan Guru TIK PGRI itu menyatakan, baik etika maupun netiket keduanya dibutuhkan saat berada di ruang digital. Etika sebagai sistem nilai dan norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya dan tetap berlaku meskipun individu sendirian.

”Sedangkan netiket, yakni tata cara individu berinteraksi denganindividu lain atau dalam masyarakat, berlaku jika individu berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain,” jelas Fajar.

Fajar menambahkan, dalam netiket (etika berinternet) yakni berupa tata krama dalam menggunakan internet, individu harus selalu menyadari bahwa dirinya berinteraksi dengan manusia nyata di jaringan yang lain. Bukan sekadar dengan deretan karakter huruf di layar monitor, namun dengan karakter manusia sesungguhnya.

”Untuk itu, hindari pelanggaran kesusilaan, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, penyebaran berita bohong (hoaks), penyebaran kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA, cyberbullying, serta hate speech,” tegas Fajar Tri Laksono.

Kegiatan webinar yang merupakan bagian dari program literasi digital di 34 provinsi dan 514 kabupaten itu, membahas setiap tema dari sudut pandang empat pilar utama. Yakni, digital skills, digital ethics, digital safety dan digital culture untuk membuat masyarakat Indonesia semakin cakap digital.

Dari perspektif keamanan digital (digital safety), dosen Institut Agama Islam (IAI) Hamzanwandi NW Lombok Timur, Rizky Wulandari menyatakan, keamanan digital merupakan sebuah proses untuk memastikan penggunaan layanan digital, baik secara daring maupun luring dapat dilakukan secara aman.

”Keamanan dalam hal ini tidak hanya untuk mengamankan data yang kita miliki, melainkan juga melindungi data pribadi yang bersifat rahasia,” ujar dosen ilmu komunikasi yang akrab disapa Kiky itu.

Terkait maraknya hoaks yang ada di dunia digital, Kiky memberikan saran agar pengguna digital lebih berhati-hati serta memahami ciri-ciri berita informasi hoaks. ”Misalnya, ciri hoaks menurut Dewan Pers: Sumber berita tidak jelas, media yang tidak terverifikasi, tidak berimbang, dan cenderung menyudutkan pihak tertentu,” urainya.

Sejak dilaksanakan Kominfo pada 2017, program Gerakan Literasi Digital Nasional telah menjangkau 12,6 juta masyarakat. Pada tahun 2022 ini, Kominfo menargetkan pemberian pelatihan literasi digital kepada 5,5 juta warga masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement