REPUBLIKA.CO.ID, jakarta -- Sudah satu tahun lebih Presiden Haiti Jovenel Moïse tewas dibunuh. Peristiwa itu membawa negara tersebut menuju krisis yang lebih dalam. Aktivitas kelompok kriminal bersenjata melonjak tajam di ibukota.
Satu bulan lebih sedikit setelah Moïse dibunuh Haiti diguncang gempa dengan kekuatan 7,2 skala Richter. Sekitar 2.000 orang tewas dan ribuan lainnya terluka.
Gempa itu menghancurkan rumah-rumah, gedung-gedung dan sekolah-sekolah terutama di daerah pedesaan. Di mana diperkirakan sekitar 80 persen populasi terdampak bencana tersebut.
Dalam laporannya pada 2 Juli lalu Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan 188 orang di Port-au-Prince tewas karena kekerasan antar kelompok kriminal termasuk 96 orang anggota geng. Hampir 17 ribu orang terpaksa mengungsi sejak akhir April lalu.
"Kami menemukan mayat yang sudah membusuk atau terpaksa, mereka bisa jadi orang-orang yang terbunuh dapat bentrokan atau orang-orang yang mencoba pergi ditembak - ini merupakan medan perang sungguhan," kata Doctors Without Border (MSF) dalam pernyataannya pekan ini seperti dikutip ABC News, Ahad (17/7/2022).
Pada Jumat (15/7/2022) lalu Dewan Keamanan PBB menyetujui dengan suara bulat resolusi yang meminta semua negara berhenti mengirimkan senjata ringan, kecil dan amunisi ke setiap pihak yang mendukung kekerasan antar geng dan kriminal di Haiti.
"Dengan keprihatinan yang mendalam pada tingginya tingkat kekerasan ekstrem antar geng dan aktivitas kriminal lainnya, termasuk pembunuhan dan penculikan, dan kekerasan seksual dan berbasis gender, serta kekebalan pada pelaku dan implikasi situasi Haiti di kawasan," kata resolusi itu seperti dikutip Associated Press.