Senin 18 Jul 2022 13:55 WIB

Tangkal Islamofobia dengan Kuasai Perekonomian Negara Sendiri

Indonesia dinilai terlalu memberi ruang untuk warga asing.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG—Wakil Ketua Umum Majalis Ulama Indonesia (Waketum MUI) Anwar Abbas mengatakan, upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kelompok-kelompok anti Islam di Indonesia, adalah dengan mendorong warga pribumi Muslim agar dapat bersaing dan berkontribusi meningkatkan perekonomian bangsa. Menurutnya, selama ini Indonesia telalu memberikan ruang bagi warga asing dan kelompok non Muslim untuk menguasai perekonomian bangsa. 

“Coba lihat survey, dari 10 orang yang paling berpengaruh pada perekonomian Indonesia, mungkin hanya satu yang Muslim,” kata Anwar Abbas saat menjadi keynote speaker di Forum Group Discussion Anti Islamofobia yang digelar di Masjid Al-Fajr, Buah Batu, Kota Bandung, Sabtu (16/7/2022). 

Baca Juga

Menurutnya, kondisi ini semakin menyuburkan pertumbuhan Islamofobia di tanah air, meskipun Indonesia merupakan negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Buya Anwar Abbas menganggap bahwa keadaan ini tidak akan berubah jika umat Muslim masih bermental ‘bawahan’.

“Makanya nasib kita tidak akan berubah jika posisi kota masih dibawah. Dan jika ingin merubah nasib, hijrah lah mental kita, dari mental pegawai (bawahan) menjadi mental pengusaha (penguasa),” kata dia. 

Dia juga mengaku telah meminta presiden republik Indonesia Joko Widodo untuk memperbanyak program pelatihan wirausaha, untuk mencetak pengusaha muda yang berkualitas dan memiliki nilai saing yang tinggi. Menurutnya, sudah saatnya generasi muda Muslim Indonesia tampil dan mengambil alih perekonomian bangsa dari tangan asing. 

“Karena hampir seluruh pihak yang berkontribusi pda perekonomian bangsa adalah pengusaha dan mayoritas dari mereka bukan warga lokal,” klaimnya.

Sementara itu, dia juga menganggap bahwa sikap anti islam merupakan bentukan pihak-pihak yang ingin menjadikan Islam sebagai musuh baru negara-negara blok barat, setelah Uni Soviet kalah telak. Meski Soekarno telah membentuk kelompok negara non blok, demi menghindari efek konflik blok barat dan blok timur, namun upaya ini dinilai tidka berjalan mulus. 

“Begitu uni Soviet hancur, Blok Barat tidak lagi punya musuh bersama. Padahal adanya musuh bersama ini menjadi perekat negara-negara blok barat, lalu muncullah ketakutan di antara negara blok barat, karena saat tidak ada lawan maka kemungkinan akan ada pertarungan saudara, maka untuk menghalaunya adalah mencari musuh baru. Lalu muncullah usulan untuk menjadikan islam sebagai musuh bersama,” klaim petinggi MUI yang akrab disapa Buya itu. 

Dia berpendapat bahwa semakin tampaknya gerakan anti Islam merupakan buah dari penanaman stigma buruk Islam di mata dunia. Menurutnya, saat Blok Barat dan Blok Timur masih menjadi lawan yang sama-sama kuat, tidak ada satu pun dari blok tersebut yang mempermasalahkan keeksistensian umat Muslim. 

“Sejak itu (Blok Timur melemah), mulai terjadi rekayasa agar mereka yakin bahwa islam adalah agama yang berbahaya. Karena saat uni Soviet masih ada, mereka tidak menghiraukan negara negara islam, karena mayoritas adalah negara negara miskin atau berkembang,” ujarnya. 

“Jadi kesimpulan saya, apa yang menyerang umat Muslim, seperti kejadian bom Bali atau kejadian 9/11 di Amerika, itu adalah hasil dari sebuah skenario untuk merusak citra islam supaya islam betul dianggap sebagai sebuah ancaman. Itu ciptaan blok barat demi membumikan citra islam sebagai agama kejam,” tambahnya.

Pelabelan ini, kata dia, tak lain didasari rasa khawatir dan ketakutan negara Blok Barat dengan pergerakan Islam yang semakin menyebar di seluruh dunia. Menurut mereka, Islam dapat menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan agama mereka, merujuk pada mulai diterimanya Islam di negara-negara barat. 

“Islam yang mereka takuti itu bukan islam timur tengah atau Iran karena islam disana bagi orang orang Amerika adalah islam yang keras. Yang mereka takuti adalah islam Asia Tenggara terutama islam Indonesia dan Malaysia, karena itu adalah islam yang moderat dan lemah lembut, sejuk dan teduh. Dan ini dianggap berpotensi menguras pada pengikut agama mereka,” pungkasnya.

 

Cek Typo

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement