REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Harga bahan baku pupuk mengalami lonjakan akibat negara produsen pupuk dunia, Rusia tengah terlibat perang dengan Ukraina. PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) menuturkan, telah menyiapkan langkah mitigasi menghadapi lonjakan harga tersebut.
Harga bahan baku yang melonjak mengakibatkan kenaikan harga pupuk yang diterima petani. Pemerintah memiliki instrumen pupuk bersubsidi untuk membantu petani, hanya saja, pasokan yang disiapkan lebih kecil dari kebutuhan yang diajukan petani se-Indonesia.
Direktur Transformasi Bisnis, Pupuk Indonesia, Panji Winantea Ruky, mengatakan, perseroan telah melakukan mitigasi dengan mencari sumber alternatif pemasok."Memang ada gangguan akibat konflik Rusia-Ukraina karena mereka pemasok, tapi kami sudah mitigasi mencari sumber-sumber tempat (eksportir) lain," kata Panji di Denpasar, Senin (18/7/2022).
Panji tak merinci negara produsen yang menjadi pilihan alternatif yang bisa memasok bahan baku pupuk bagi Indonesia. Namun, ia memastikan target produksi pupuk tahun 2022, termasuk penugasan pemerintah untuk penyediaan pupuk bersubsidi akan terpenuhi.
"Insya Allah produksi kami akan berjalan sesuai rencana untuk memenuhi permintaan Kementerian Pertanian dan produksi untuk komersial," katanya menambahkan.
Diketahui, rata-rata produksi pupuk seluruh jenis oleh PIHC mencapai sekitar 14 juta ton per tahun. Dari rata-rata produksi itu, tahun ini pemerintah mengalokasikan pupuk bersubsidi sebanyak 9,1 juta ton dengan anggaran Rp 25 triliun. Sisa produksi perseroan diperdagangkan sebagai produk komersial yang mengikuti harga pasar.
Direktur Pupuk, Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana, Kementerian Pertanian, Muhammad Hatta, menuturkan, pencarian alternatif bahan baku impor pupuk menjadi kewenangan dari Pupuk Indonesia selaku operator pelaksana kebijakan pemerintah.
Namun, dari segi kebijakan, pemerintah telah memutuskan akan memfokuskan pupuk bersubsidi dari lima jenis menjadi dua jenis yakni Urea dan NPK. Kedua pupuk itu, saat ini mengalami kenaikan harga yang tertinggi dan petani terancam tak dapat membeli jika tidak mendapatkan subsidi.
"Urea dan NPK adalah yang paling mahal harganya, oleh karena itu kita anggap dua jenis ini yang paling dibutuhkan oleh petani," kata dia.
Ia menuturkan, jika dengan subsidi, petani hanya cukup menebus pupuk Urea seharga Rp 2.250 per kg dari harga normal saat ini hingga Rp 10 ribu per kg. Adapun NPK, hanya ditebus dengan Rp 3.000 pe rkg dari harga pasar yang sudah lebih dari Rp 10 ribu per kg.