REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan RI belum menyimpulkan tingkat kecepatan penularan subvarian Omicron BA.2.75 yang menginfeksi tiga warga Indonesia sejak sepekan lalu. "Sampai sekarang belum terlihat polanya berapa cepat dia naiknya dibandingkan dengan BA.4 dan BA.5," kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam agenda peluncuran kit diagnostik molekuler BioColoMelt-Dx di RS Darmais Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Kemenkes masih meneliti kemampuan BA.2.75 yang saat ini menunjukkan tren peningkatan kasus di India. Pada pekan lalu, kata dia, BA.2.75 atau yang dikenal di sebagian kalangan pakar ilmu kesehatan dengan sebutan varian Centaurus itu telah terdeteksi di Indonesia, dua kasus berada di Jakarta dan satu lainnya terdeteksi di Bali.
Secara terpisah, Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan BA.2.75 kali pertama dilaporkan dari India pada awal Juni 2022 dan sekarang sudah menyebar di sedikitnya 15 negara, di antaranya Jerman, Inggris, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Amerika Serikat, Australia, dan Singapura.
"Di India yang kita kenal sebagai negara yang pertama kali melaporkan varian Delta BA.2.75 menyebar dengan cukup cepat," katanya.
Pakar dari Mayo Clinic menyatakan bahwa peningkatan kasus di India akibat BA.2.75 bersifat eksponensial, walau memang masih harus menunggu data-data lain dalam beberapa pekan mendatang. "Pembantu Dekan Bidang Riset Arkansas State University juga mengkhawatirkan tentang penyebaran BA.2.75 ini di India yang menurutnya sekarang sudah lebih cepat dari BA.5 di sana," katanya.
Menurut dia, kalangan pakar juga memperkirakan BA.2.75 juga akan menyebar cukup cepat di Inggris dan Amerika Serikat. Awalnya hanya di satu negara bagian, sedangkan saat ini sudah ada di tujuh negara bagian Amerika, yaitu California, Illinois, New York, North Carolina, Texas, Washington, dan Wisconsin. "Memang sejauh ini belum ada kepastian tentang pola penularan dan berat ringannya dampak BA.2.75," katanya.
Kemunculan BA.2.75 di Indonesia, kata Tjandra, menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 masih ada di tengah masyarakat, sedangkan berbagai perkembangan dapat saja terjadi, termasuk adanya varian atau subvarian baru. "Tentu tidak perlu panik, tetapi jelas perlu waspada dan mendapatkan data ilmiah yang valid agar penanganan di lapangan dapat berjalan dengan tepat," katanya.