REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Denmark melarang layanan Google dipakai di sekolah, baik Google Workspace maupun laptop Chromebook. Hal itu dilakukan karena adanya risiko terkait data pribadi yang dikelola Google.
Dilansir dari laptopmag pada Selasa (19/7/2022), awalnya otoritas perlindungan data pribadi Denmark, Datatilsynet, mengungkapkan kalau layanan Google berbasis cloud (mencakup Gmail, Google Docs, Calendar, dan Google Drive) tidak memenuhi persyaratan dan peraturan privasi data GDPR buatan Uni Eropa.
Pemerintah kota memiliki waktu hingga 3 Agustus 2022 untuk membebaskan diri, dan siswanya, dari Chromebook dan Google Workspace. Namun, karena laporan Datatilsynet yang menyatakan bahwa ada pelanggaran data pribadi pada tahun 2020, badan perlindungan mencatat bahwa keputusan itu kemungkinan besar akan berlaku untuk kota lain di masa depan.
Penyebab utama situasi ini adalah Perisai Privasi UE-AS yang sekarang sudah tidak berfungsi yang mengontrol cara data dibagikan antara AS dan UE. Dengan tidak adanya peraturan saat ini, hal ini membuat pengguna UE rentan terhadap peraturan data Amerika Serikat yang tidak terlalu ketat, yang kurang peduli dengan anonimitas data pribadi.
Yang cukup menarik, transfer data antara AS dan Eropa telah dianggap ilegal sejak keputusan sebelumnya kasus Schrems II pada tahun 2020, yang membatalkan perjanjian Perisai Privasi AS-UE yang ada karena tidak memenuhi standar GDPR. Pengumuman dan keputusan ini mengikuti tren negara-negara Eropa, seperti Italia, Prancis, dan Austria, yang menentukan bahwa situs web yang menggunakan Google Analytics melanggar aturan perlindungan privasi data Eropa.
"Sekolah memiliki data mereka sendiri. Kami hanya memproses data mereka sesuai dengan kontrak kami dengan mereka. Di Workspace for Education, data siswa tidak pernah digunakan untuk iklan atau tujuan komersial lainnya. Organisasi independen telah mengaudit layanan kami dan kami mempertahankan praktik kami," kata seorang juru bicara Google.
Diketahui, baru-baru ini, DPC (Komisi Perlindungan Data) Irlandia melihat bagaimana Meta, perusahaan induk Facebook, telah mentransfer data antara Eropa dan AS, yang mungkin berdampak pada pengguna WhatsApp dan Instagram.