REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Haura Hafizhah
Rencana pemerintah memblokir penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup privat baik domestik maupun asing bukan tanpa alasan. Kementerian Komunikasi dan Informatika menjelaskan PSE wajib mendaftar di Indonesia.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, aktivitas ekonomi sebagian besar bukan hanya di ruang fisik tetapi juga ruang digital. Namun, pengaturan aktivitas ekonomi di ruang digital berbeda dengan ruang fisik.
"Kita tahu ruang digital kita itu tidak terbatas, tanpa batas, kalau fisik kita bisa kunjungi tokonya jelas ada, alamatnya ada, kalau ruang digital bagaimana? Inilah kita ingin mencoba untuk semua pelaku usaha di ruang digital yang menargetkan Indonesia sebagai market, wajib mendaftar," kata Semuel dalam keterangan persnya, Selasa (19/7/2022).
Semuel mengatakan pendaftaran PSE bertujuan untuk mendata PSE yang beroperasi di Indonesia, pedoman dan jenis layanan diberikan. Sehingga, Pemerintah bisa menindaklanjuti jika di kemudian hari terdapat masalah pada PSE tersebut.
Pemerintah menilai penting pendataan PSE privat demi perlindungan masyarakat dan menjaga ruang digital Indonesia. "Sekali lagi untuk mendata supaya kami tahu apa layanan diberikan , bagaimana kalau ada masalah, pedoman harus berbahasa Indonesia agar masyarakat Indonesia mengerti dan itu harus dipatuhi," ujar Semuel.
Kedua, Semuel mengatakan, tujuan PSE mendaftar juga terkait aturan perpajakan di Indonesia. Menurutnya, PSE yang membuka usaha di Indonesia baik fisik maupun ruang digital harus mengikuti aturan perpajakan di Indonesia
"Kan bukan hanya perusahaan di Indonesia yang bayar pajak, mereka yang berusaha di ruang digital walaupun bukan di Indonesia mereka wajib mematuhi perpajakan kita. itulah alasan kita melakukan pendataan," ujar Semuel.
Sesuai Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020, ada enam kategori PSE lingkup privat yang wajib melakukan pendaftaran, yaitu: melakukan penawaran atau perdagangan barang / jasa; menyediakan layanan transaksi keuangan; menyediakan layanan materi digital berbayar; menyediakan layanan komunikasi; menyediakan layanan mesin pencari; dan melakukan pemrosesan data pribadi untuk transaksi elektronik.
Namun, Semuel menegaskan pendaftaran PSE bukan untuk pengendalian terhadap konten setiap PSE. "Ini adalah regulasi tata kelola bukan pengendalian supaya kita tahu siapa saja yang beroperasi di Indonesia, dan apa yang mereka operasikan dan apa mereka menyediakan layanan itu dalam bahasa Indonesia, wajib, bagaimana kalau ada komplain, ada banyak hal, kalau mereka untung ya bayar pajaknya," kata dia.
Semuel juga menanggapi sejumlah pasal di Permenkominfo 5/2020 yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi. Di antaranya, pasal 36 yang mengatur tentang pemberian akses data lalu lintas kepada penegak hukum.
Semuel menjelaskan, wewenang penegak hukum untuk mengakses lalu lintas data tidak hanya di Indonesia tetapi juga negara lain. Prosesnya pun, tambah Semuel, harus melalui mekanisme dan didahului sebuah kasus tindak pidana.
"Semua negara seperti itu prosesnya, ini memang menargetkan orang-orang yang punya niatan jahat seperti Binomo atau DNA Robot. Aparat harus masuk ke sistemnya karena sistem mereka melakukan kejahatan," ujarnya.
Pemerintah dipastikan tidak akan goyah menerapkan sanksi terberat yakni pemblokiran terhadap PSE privat yang tidak mendaftar. Saat ini, WhatsApp, platform komunikasi utama masyarakat Indonesia belum tampak dalam daftar PSE privat asing yang terdaftar.
Ia mengatakan, jika PSE tetap bersikukuh tidak mendaftar merupakan kerugian bagi platform tersebut. "Ya kalau mereka nggak daftar ya ruginya mereka sendiri. Kalau kita lihat ada Telegram juga kalau mereka nggak daftar juga, ya itu buka kesempatan anak bangsa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," ujar Semuel.
Dia mencontohkan, salah satu aplikasi pesan instan domestik seperti Palapa sudah ada saat ini. Menurutnya, jika PSE privat besar menilai Indonesia sebagai pasar potensial mereka seharusnya mengikuti aturan yang berlaku di negara tersebut. Apalagi, kata Semuel, pendaftaran PSE privat ini bersifat pendataan semata, bukan pengendalian terhadap konten dan sebagainya.
Dia mengatakan, pemerintah menilai penting pendataan PSE privat demi perlindungan masyarakat dan menjaga ruang digital Indonesia. Menurutnya, jangan sampai ketergantungan masyarakat terhadap suatu platform membuat PSE itu tidak taat aturan.
"Jangan sampai karena dia (besar) tidak patuh, terus mereka disuruh daftar nggak mau, apakah mereka menghargai kita, dan saya tidak takut begitu mereka nggak ada, banyak anak-anak bangsa kita buka kesempatan, tetapi harapan kita tetap membuka diri mereka mendaftar," kata Semuel.
Pengamat Budaya dan Komunikasi Digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan pendaftaran PSE memang erat kaitannya dengan urusan kedaulatan negara yang dipertaruhkan. Ia menilai tidak ada dalih, lantaran suatu platform sudah digunakan banyak orang lalu tidak ada kewenangan negara yang bisa mengaturnya.
Hal tersebut akan menjadi preseden buruk adanya platform platform lain di masa datang, yang menawarkan layanannya hingga diterima masyarakat luas lalu menghindari pengaturan negara. "Memang idealnya negara menyediakan alternatif platform untuk digunakan masyarakat, seperti Baidu dll di China, sehingga ketika pemerintah hendak mengatur, ada bargaining yang bisa diajukan," kata dia.
Terkait rencana pemblokiran, ia menilai hal tersebut bisa merepotkan masyarakat. "Ini ancaman atau bukan, kita lihat di tanggal yang dijanjikan 20 Juli 2022 sebagai akhir masa pendaftaran PSE dan jika belum mendaftar, tanggal 21 Juli 2022 semua PSE global akan diblokir operasionalnya. Jika diblokir tentunya akan membuat masyarakat menjadi repot," katanya saat dihubungi Republika, Senin (18/7/2022).
Kemudian, ia melanjutkan kerugian yang paling nampak jelas adalah kerugian sosial. Platform-platform diatas menjadi perangkat utama relasi sosial masyarakat, berkomunikasi, berbisnis hingga urusan memperlancar pekerjaan. Tidak berhenti sampai di situ, pemblokiran juga akan menyebabkan kerepotan secara ekonomi.
"Banyak masyarakat yang memanfaatkan platform-platform tersebut untuk menyelenggarakan usaha komersialnya," kata dia. Namun, ia mengakui fokus perhatian tidak boleh hanya berhenti sampai kerugian sosial ekonomi semata.