REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menanggapi banyaknya tokoh dan simulasi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang beredar. Namun, dia mengingatkan, pemilihan presiden (Pilpres) 2024 harus memiliki pendekatan berbeda dan tak hanya menjadikan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam kontestasi saja.
"Jadi parpol itu sebagai pemegang mandat konstitusi untuk mencalonkan Paslon dalam pilpres itu tidak hanya sekedar sebagai angkutan kota aja," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/7).
Pendekatan tersebutlah yang berusaha diusung oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bentukan PPP, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Koalisi yang terbentuk lebih awal akan membuat ketiga partai memiliki banyak waktu untuk menyamakan platform, sebelum keputusan mengusung nama tertentu.
"KIB memang dari awal ingin tradisi politik kita, tradisi parpol kita itu yaitu tadi, punya dulu platformnya apa. Mau ngapain sih kita itu ngusung si A," ujar Arsul.
Kendati demikian, Koalisi Indonesia Bersatu belumlah pada tahap pembahasan capres yang akan diusung. Ketiga partai politik tersebut masih merampungkan platform, sembari mengidentifikasi sosok-sosok potensial yang akan tunjuk menjadi capres-cawapres.
"Karena nanti sebagai gabungan partai politik, KIB ketika kemudian bicara dengan calon calon potensial untuk menjadi Paslon. Itu kan kita ingin sampaikan ini loh kita terbuka untuk mendukung anda, tetapi ini loh yang kita inginkan," ujar Wakil Ketua MPR itu.
Sementara itu, politikus Partai Golkar, Maman Abdurrahman, mengatakan, ketokohan individual memang menjadi modal penting untuk berkontestasi dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024. Namun, dia juga mengimbau, partai politik berhati-hati dalam menunjuk sosok calon presiden (capres) yang bukan kader dan hanya bermodalkan popularitas tinggi.
"Kita harus hati-hati pada saat kita sekedar, kita memilih calon yang sekedar populer saja. Akhirnya idealisme yang dimiliki si calon, si presiden terpilih nanti mau tidak mau harus sedikit digeser, karena harus dibangun kompromi," ujar Maman dalam diskusi yang digelar Akar Rumput Strategic Consulting (ARSC), Rabu (20/7).
Menurutnya, sosok capres yang bukan merupakan kader partai politik akan menyulitkan kerjanya jika terpilih sebagai presiden. Pasalnya, mereka tak memiliki nilai tawar politik ketika melakukan konsolidasi untuk pemerintahannya nanti.
Sebab, pemilik tiket atau saham paling besar dalam Pilpres 2024 adalah partai politik. Hal inilah yang membuat presiden terpilih yang bukan kader partai politik akan terpaksa berkompromi untuk mengakomodasi pihak lain yang mendorong dan mendukungnya maju sebagai presiden.
"Saya memiliki kritik tersendiri terhadap mereka-mereka, istilah saya free rider lah. Ini banyak contoh kasus, bahwa dia bukan figur partai, kita dukung. Setelah jadi, cenderung akhirnya bergeser dari idealisme-idealisme amanah partai," ujar Maman.