REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terkait pasal pelarangan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan. Sejumlah kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mendesak DPR dan Pemerintah segera mengkaji larangan penggunaan ganja untuk kesehatan.
"Sebagai open legal policy, maka dalam proses revisi UU Narkotika, Pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan, sehingga Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/7/2022).
Erasmus menilai dengan perubahan tersebut, maka pemerintah maupun swasta sesuai dengan amanat MK akan memiliki peluang yang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, dan teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan, bahkan sampai dengan membangun sistem yang kuat terkait dengan hal tersebut.
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan juga meminta Pemerintah segera melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan.
"Penelitian ini juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan," ucapnya.
Erasmus juga mengingatkan dalam putusannya MK menekankan kata segera pada putusannya, sehingga harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan. Selain itu Pemerintah juga harus memberikan solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja.
"Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak 'tercover' BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi," ujarnya.