Kamis 21 Jul 2022 16:32 WIB

Rusia: Negara Ukraina Mungkin akan Hilang dari Peta Dunia

Ukraina sebagai negara mungkin menghilang dari peta dunia sebagai akibat perang

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev mengatakan, Ukraina sebagai negara mungkin menghilang dari peta dunia sebagai akibat dari peristiwa yang kini sedang berlangsung.
Foto: AP
Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev mengatakan, Ukraina sebagai negara mungkin menghilang dari peta dunia sebagai akibat dari peristiwa yang kini sedang berlangsung.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev mengatakan Ukraina sebagai negara mungkin menghilang dari peta dunia sebagai akibat dari peristiwa yang kini sedang berlangsung. Saat ini Rusia diketahui masih menggencarkan serangannya ke negara tersebut.

"Setelah kudeta 2014, Ukraina kehilangan kemerdekaan negaranya dan jatuh di bawah kendali langsung kolektif Barat serta mulai percaya bahwa NATO akan menjamin keamanannya. Sebagai akibat dari semua peristiwa saat ini, Ukraina mungkin kehilangan apa yang tersisa dari kedaulatan negaranya dan menghilang dari peta dunia,” kata Medvedev lewat saluran Telegram-nya, Kamis (21/7/2022), dilaporkan laman kantor berita Rusia, TASS.

Baca Juga

Konflik yang tengah berlangsung antara Rusia dan Ukraina saat ini tak terlepas dari krisis pada 2014. Kala itu, mantan presiden Ukraina Viktor Yanukovych digulingkan rakyat Ukraina. Hal tersebut terjadi karena Yanukovych menolak bergabung dengan pakta perdagangan Uni Eropa.

Dia justru meminjam bantuan finansial kepada Rusia. Yanukovych pun menerima tawaran Moskow untuk bergabung dengan serikat pabean Eurasia. Rakyat Ukraina tak puas dengan keputusan tersebut dan menggelar demonstrasi selama sekitar tiga bulan hingga berujung pada penggulingan Yanukovych.

Saat Ukraina membentuk pemerintahan baru, Rusia mengerahkan pasukannya ke Krimea. Presiden Vladimir Putin mengatakan langkah itu dilakukan untuk melindungi warga etnis Rusia di wilayah tersebut yang terancam oleh rezim baru Ukraina. Kelompok oposisi dari pemerintahan Yanukovych mengecam aksi Rusia. Uni Eropa, NATO, dan Amerika Serikat (AS), turut mengkritik keras pengerahan pasukan Rusia ke Krimea.

Di tengah situasi demikian, otoritas Krimea menggelar referendum tentang reunifikasi dengan Rusia. Sebagian besar pemilih (96,7 persen di Krimea dan 95,6 persen di Sevastopol) mendukung gagasan tersebut. Jumlah warga yang berpartisipasi dalam proses referendum mencapai 80 persen.

Pada Maret 2014, Putin menandatangani perjanjian tentang reunifikasi Krimea dengan Rusia. Perjanjian diratifikasi oleh Majelis Federal Rusia pada 21 Maret 2014. Namun Ukraina menolak mengakui kemerdekaan Krimea dan keputusannya bersatu kembali dengan Rusia. Komunitas internasional pun memandang langkah Rusia di Krimea sebagai bentuk aneksasi atau pencaplokan.

Saat ini Rusia sudah mengakui kemerdekaan Luhansk dan Donetsk, dua wilayah di timur Ukraina. Pengakuan itu diumumkan sesaat sebelum Moskow memutuskan menyerang Kiev pada 24 Februari lalu. Rusia telah menguasai Luhansk dan kini sedang berusaha merebut kendali atas Donetsk. Sebelum Rusia melancarkan agresi, Luhansk dan Donetsk dikuasai kelompok separatis pro-Rusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement